This is featured post 1 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.
This is featured post 2 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.
This is featured post 3 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.
Jumat, 05 Desember 2014
Minggu, 18 September 2011
20.15
Lutfi
ALIRAN
REKONSTRUKSIONISME
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Aliran rekonstruksionisme merupakan aliran
dalam filsafat pendidikan yang berawal dari adanya krisis kebudayaan modern
yang dipelopori oleh tokoh bernama George Count dan Harold pada tahun 1930-an.
Aliran rekonstruksionisme merupakan
aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dalam pendidikan dan membangun
tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.
Dasar pemikiran aliran rekonstruksionisme
tidak terlepas dari pemikiran-pemikiran pada aliran perenialisme dan
progresifisme. Aliran rekonstruksionisme muncul sebagai reaksi dari adanya
pemahaman dalam aliran perenialisme maupun aliran progresivisme, sehingga keduanya
tidak dapat dipisahkan, karena upaya aliran rekonstruksionisme dalam
mengembangkan pendidikan diawali oleh keprihatinan
para rekonstruksionis terhadap kehidupan manusia modern atau dengan kata lain
menyebutkan adanya krisis kebudayaan modern. Aliran rekonstruksionisme merupakan salah satu aliran yang menganggap
telah terjadi kegagalan dalam pendidikan dunia modern (progresif). Maka, aliran
rekonstruksionisme berupaya melakukan sebuah perombakan tata susunan lama dan
membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern serta membina
suatu konsensus yang paling luas dan mungkin mengenai tujuan pokok tertinggi
dalam kehidupan manusia. (Depag RI, 1984: 31). Mereka bermaksud ingin membangun
masyarakat baru, masyarakat yang dipandang pantas dan adil dengan
rekonstruksi-rekonstruksi yang ditawarkannya.[1] Lantas, apa dan bagaimana
upaya yang dapat dilakukan oleh aliran rekonstruksionisme untuk dapat
memperbaiki sistem pendidikan supaya tidak terkungkung dalam sebuah pendidikan
yang amat tradisional dan tidak dapat menyesuaikan perkembangan zaman, akan
tetapi juga tidak terjebak oleh pemahaman tentang pendidikan yang pragmatis?
Pendidikan pada hakekatnya merupakan
sebuah formula yang memiliki fungsi untuk dapat mengubah dunia menjadi dunia
yang benar-benar semakin berperadaban, karena inti dari sebuah pendidikan
adalah proses pengubahan dari yang sebelumnya belum baik menjadi baik, dan yang
sebelumnya sudah baik menjadi semakin baik lagi. Pendidikan bukan hanya sekedar
pentransferan pengetahuan oleh seorang pendidik kepada peserta didiknya.
Pendidikan adalah upaya menyusun kembali komponen-komponen pendukung dari
kognisi manusia, afeksi manusia, maupun psikomotor manusia secara seimbang. Di
dalam pendidikan ketiga komponen tersebut tidak dapat dipisahkan, sebab jika
dipisahkan, akan terjadi sebuah ketimpangan bagi peserta didik nantinya,
terutama saat terjun langsung dalam masyarakat.
Menilik dari pentingnya peran pendidikan,
maka seharusnya pendidikan mampu dijadikan sebagai perombak sistem kehidupan
masyarakat untuk dapat menjadi manusia yang semakin berkemajuan. Akan tetapi,
pada kenyataannya pendidikan pada abad-abad terakhir ini tidak lagi dapat
dijadikan sebagai perombak bagi kehidupan manusia untuk menjadi lebih baik.
Yang ada justru fenomena sebaliknya, manusia yang dalam proses belajarnya lebih
banyak ditekankan pada kemampuan kognisi, justru diperbudak oleh pendidikan itu
yang akhirnya hanya ditujukan untuk memperoleh pekerjaan yang berujung pada
uang, bukan perolehan pengetahuan dan pemahaman, sehingga terjebak dalam
pemaknaan hidup yang pragmatis. Pendidikan telah diselenggarakan dengan cara
dan pemikiran yang salah. Pendidikan yang ada selama ini bukannya menunjukkan
sebuah perkembangan yang baik, akan tetapi justru sebaliknya menjadi bertambah
buruk. Dunia bahkan mengalami sesuatu yang disebut dengan situasi krisis yang
sekarat.[2] Virus kapitalisasi sungguh
telah menjangkiti setiap jiwa manusia. Dari situlah, maka timbullah berbagai
krisis, baik krisis yang terjadi di negara sendiri, yaitu Indonesia, hingga
krisis dunia yang semakin tidak terkendalikan.
Dalam dunia pendidikan, yang tengah
menjadi sebuah permasalahan paling rumit saat ini adalah pemahaman dari makna
pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang memiliki makna perubahan manusia
menjadi lebih baik telah beralih wujud menjadi sebuah sistem yang senantiasa
menyuguhkan materi-materi dengan berbagai kompetensi yang dituntut untuk
dituntaskan pembelajarannya, tanpa adanya sebuah pemaknaan khusus akan manfaat
dan hikmah dari setiap ilmu yang diajarkan. Dengan pemaknaan pendidikan yang
demikian, maka output-output yang ada hanya akan menjadi seseorang yang
diibaratkan sebuah robot yang dikendalikan oleh mesin-mesin, yang siap
diperbudak oleh tuannya yaitu berupa hawa nafsu. Hal tersebut mengakibatkan
manusia kini menjadi kehilangan jiwa sosial mereka. Maka, diambil dari
pemikiran aliran rekonstruksionisme dalam pendidikan ini adalah sebagai upaya
untuk merombak sistem pendidikan, terutama sistem pendidikan nasional, dengan
tujuan agar para peserta didik dalam menuntut ilmu kelak akan menjadi kaum intelektual
yang dapat mengembangkan peradaban dunia menjadi dunia yang semakin berkemajuan
dan juga beradab, sehingga dunia akan dapat bangkit dari keterpurukan akibat
krisis yang berkepanjangan, terutama krisis moral yang menjadi faktor utama
dari krisis-krisis yang lainnya.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan di muka, maka diambil topik
pembahasan yang dirumuskan dalam rumusan masalah sebagai berikut:
- Apa pengertian dan sejarah munculnya aliran rekonstruksionisme?
- Bagaimana prinsip-prinsip pemikiran aliran rekonstruksionisme?
- Bagaimana pandangan-pandangan yang ada dalam aliran rekonstruksionisme?
- Bagaimana teori pendidikan dalam rekonstruksionisme?
- Bagaimana implikasi aliran rekonstruksionisme dalam pemecahan masalah Pendidikan?
Tujuan Pembahasan
Berdasarkan perumusan masalah di atas,
maka tujuan dari pembahasan dalam makalah ini antara lain adalah sebagai
berikut:
- Untuk mengetahui pengertian dan sejarah munculnya aliran rekonstruksionisme dalam filsafat pendidikan.
- Untuk mengetahui prinsip-prinsip pemikiran aliran rekonstruksionisme dalam filsafat pendidikan.
- Untuk mengetahui pandangan-pandangan yang ada dalam aliran rekonstruksionisme.
- Untuk mengetahui teori pendidikan dalam rekonstruksionisme.
- Untuk mengetahui implikasi aliran rekonstruksionisme dalam pemecahan masalah pendidikan.
Manfaat Pembahasan
Dengan dibahasnya makalah tentang aliran
rekonstruksionisme, maka akan menambah pengetahuan tentang aliran
rekonstruksionisme dalam filsafat pendidikan bagi para pembaca, dan bagi
penulis sendiri khususnya, sehingga akan didapatkan pengetahuan baru tentang
implikasi aliran rekonstruksionisme dalam pemecahan masalah penidikan, serta
upaya perombakan tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan
yang bercorak modern.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
dan Latar Belakang Munculnya Aliran Rekonstruksionisme
1.
Pengertian
Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme berasal dari kata reconstruct,
yaitu gabungan dari kata re- yang artinya kembali dan construct yang artinya membangun atau menyusun. Maka, secara
etimologis reconstruct diartikan menyusun kembali. Sedangkan, dalam konteks
filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah aliran yang berusaha
merombak tata susunan lama dalam pendidikan dan membangun tata susunan hidup
kebudayaan yang bercorak modern.[3]
Aliran ini dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930.
Pada prinsipnya, aliran rekonstruksionisme banyak yang sepaham dengan
aliran perenialisme, yang dikhususkan kepada keprihatinan para rekonstruksionis
terhadap kehidupan manusia modern atau dengan kata lain menyebutkan adanya
krisis kebudayaan modern. Kedua aliran tersebut berpandangan bahwa kehidupan
manusia modern telah banyak mengalami kebobrokan, kerusakan, kebingungan, dan
tidak menentunya prinsip manusia, sehingga manusia modern sudah banyak
kehilangan jati diri mereka. Bedanya kedua aliran ini, jika aliran perenialisme
berpandangan bahwa kebobrokan kehidupan manusia modern dapat diatasi dengan
cara kembali ke dalam kehidupan yang masih menjunjung tinggi kebudayaan dan peradaban
masa lampau, karena kaum perenialis berpandangan bahwa pola perkembangan
kebudayaan sepanjang zaman adalah sebagai pengulangan dari apa yang ada dalam
masa sebelumnya, sehingga perenialisme sering disebut juga dengan istilah
tradisionalisme. Sementara,
aliran rekonstruksionisme berusaha membina konsensus yang paling luas dan
mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia.
Dari jalan pikiran dan upaya yang berusaha
ditempuh oleh aliran rekonstruksionisme, maka dapat dilihat juga bahwa aliran
ini tidak terlepas dari prinsip pemikiran aliran progresifisme yang mengarah
kepada tuntutan kehidupan modern. Hal tersebut sesuai dengan pandangan Count
bahwa apa yang diperlukan pada masyarakat yang memiliki perkembangan teknologi
yang cepat adalah rekonstruksi masyarakat dan pembentukan serta perubahan tata
dunia baru.
2.
Latar
Belakang Kemunculan Aliran Filsafat Rekonstruksionisme
Jauh pada tahun 1930-an, dunia mengalami krisis yang sangat hebat, yaitu
krisis ekonomi yang tidak hentinya terus merongrong perekonomian dunia. Sistem
ekonomi kapitalis telah meningkatkan sikap egosentris masyarakat dunia. Masa
krisis dunia bukan hanya terjadi pada era modern seperti saat ini, yang tengah
gencarnya menghantui setiap penjuru dunia. Tidak ubahnya dengan sebuah politik,
dalam ekonomi kapitalis tidak lagi mengenal siapa teman sejati dan siapa musuh
yang sejati. Sistem kapitalis telah menumbuhkan sikap kesombongan negara-negara
yang merasa memiliki sistem perekonomian di atas atau yang disebut dengan negara-negara
maju. Kesombongan-kesombongan itu antara lain adalah kesombongan sikap dari
sebuah negara yang notabene dianggap sebagai polisi dunia yaitu Amerika Serikat. Amerika merasa
sanggup hidup dengan perekonomian sendiri, hingga akhirnya defisit perdagangan
Amerika mulai terasa sejak menjadi elemen penting ekonomi dunia pada awal abad
ke-17. Antara tahun 1990 sampai tahun 2000 defisit perdagangan Amerika dari 100
miliar naik menjadi 450 miliar.[4]
Krisis yang terjadi di Amerika tersebut secara otomatis juga telah menjadi
krisis bagi dunia. Sedangkan krisis yang terjadi pada tahun 1930-an pada saat
itu juga merupakan sebuah krisis ekonomi dunia yang menyebabkan terjadinya
depresi dunia sehingga menyebabkan lumpuhnya bangsa-bangsa kapitalis secara
ekonomi. Adanya krisis ini akhirnya berdampak pula kepada pendidikan. Krisis
inilah yang melatarbelakangi munculnya aliran rekonstruksionisme yang bertujuan
untuk dapat berusaha merombak tata susunan lama dalam pendidikan dan membangun
tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.
3.
Tokoh-tokoh
Aliran Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada
tahun 1930, yang memiliki keinginan yaitu ingin membangun masyarakat yang baru,
masyarakat yang pantas dan adil. Beberapa tokoh dalam aliran ini antara lain
adalah Caroline Pratt, George Count, Harold Rugg.
George Counts adalah seorang
tokoh aliran rekonstruksionisme yang memulai masuk sekolah pascasarjana di
University of Chicago pada tahun 1913. Pada saat ini Sekolah Pendidikan
dipengaruhi oleh John Dewey dan Francis W. Parker. Pendidik bertekad untuk
mengembangkan suatu rencana bagi ilmu pendidikan. Charles Hubbard Judd adalah
salah satu pemimpin rencana ini. George Counts adalah murid Charles Hubbard
Judd. George
Counts selesai doktor di bidang pendidikan pada tahun 1916 dan juga belajar
sosiologi di bawah Albion W. Small. Pengalamannya
dalam sosiologi membuatnya berkonsentrasi pada dimensi sosiologis penelitian
pendidikan.
Hasil karya George Counts
berupa tulisannya tentang "Prinsip Pendidikan" dengan J. Crosby
Chapman. Itu adalah gambaran filosofis, psikologis, dan metodologis American
Pendidikan (Gutek, 250). Prinsip-prinsip
Pendidikan tahun 1924 disukai filsafat John Dewey. Dalam Counts tahun 1920-an
bersama dalam gerakan-anak berpusat dalam pendidikan progresif. Selain itu,
George Counts juga menulis "Berani Build Sekolah Sosial Orde Baru?"
yang merupakan pamflet yang terdiri dari tiga makalah yang dibaca pada bulan
Februari 1932 di pertemuan pendidikan nasional. Satu kertas dibaca sebelum
Progressive Education Association di Baltimore, lain kertas sebelum sebuah divisi
dari Departemen pengawasan di Washington, dan kertas lain sebelum Dewan
Nasional Pendidikan di Washington. Judul dari tiga makalah adalah: Dare Jadilah
Pendidikan Progresif Progressive; Pendidikan Melalui indoktrinasi, dan
Kebebasan, Budaya, Sosial Perencanaan, dan Kepemimpinan. George Counts ingin
para guru untuk memimpin masyarakat bukannya mengikuti masyarakat. Para guru
adalah pemimpin dan harus membuat kebijakan yang bisa memutuskan antara tujuan
dan nilai-nilai yang saling bertentangan. Guru harus peduli dengan urusan
sekolah, tetapi juga harus peduli dengan masalah-masalah kontroversial ekonomi,
politik, dan moralitas.[5]
Tokoh kedua dalam aliran rekonstruksionisme
adalah Caroline Pratt. Caroline Pratt dilahirkan di Lound, Nottinghamshire, 23 Juni 1962, dan meninggal di Peterborough,
Cambridgeshire 4 September 2004. Dia adalah salah satu
dari 14 elite performance
riders di Inggris, akan tetapi dia terbunuh pada suatu kompetisi di Burghley Horse Trials pada 4 September 2004. Dia merancang unit blok yang menjadi bahan dasar di sekolah-sekolah di seluruh Amerika Serikat. Blok unit standarnya adalah bentuk yang sama seperti blok dari Froebel Hadiah keempat berdasarkan proporsi 1:2:4. Blok lainnya berasal dari blok standar, beberapa orang lain
yang lebih kecil dan lebih besar seperti yang dijelaskan oleh Froebel dalam Pendidikan Manusia 1826. Unit blok harus kokoh dan akurat dipotong sehingga anak-anak dapat melakukan sebuah penciptaan, pemecahkan masalah, dan tantangan sendiri. Caroline Pratt merupakan seorang guru muda yang inovatif. Caroline Pratt mengungkapkan ide-ide dari Friedrich Froebel tentang sesuatu yang dapat memberikan anak-anak kesempatan untuk mewakili dunia mereka.[6]
Selanjutnya, tokoh aliran rekonstruksionisme yang ketiga adalah Harold
Rugg. Dia adalah seorang guru, insinyur, sejarawan, ahli teori pendidikan, dan
mahasiswa psikologi dan sosiologi. Harold Rugg (1886-1960) adalah salah satu
pendidik yang paling serbaguna yang terkait dengan gerakan pendidikan
progresif. Harold Rugg Ordway, anak Edward dan Merion Abbie (Davidson) Rugg,
lahir di Fitchburg, Massachusetts, pada tanggal 17 Januari 1886. Ayahnya adalah
seorang tukang kayu. Harold Rugg Ordway memiliki banyak pengalaman kerja,
karena dia adalah seseorang yang sangat gigih dalam hidupnya. Di Dartmouth dia
menerima gelar B.S. gelar pada tahun 1908 dan gelar sarjana di bidang teknik
sipil pada 1909. Pada tahun 1911 ia memasuki Universitas Illinois, tempat ia
mengajar teknik dan melakukan pekerjaan lulusan di bidang pendidikan dan
sosiologi di bawah arahan William C. Bagley. Pada tanggal 4 September 1912,
Rugg menikah Bertha Miller, mereka mengadopsi dua anak. Rugg menikah sampai
tiga kali, tetapi dua perkawinannya berakhir dengan perceraian. Rugg menyelesaikan
Ph.D. program pada tahun 1915 dan pada musim gugur tahun itu pindah ke
Universitas Chicago, tempat ia mengajar dan melakukan penelitian di bidang
statistik administrasi dan pendidikan di bawah Charles H. Judd.
Banyak ide-ide novel Rugg's tentang pengembangan kurikulum yang
diterapkan di seri sosialnya 14-volume studi buku, diterbitkan dengan judul
umum "Nya Mengubah Manusia dan Masyarakat" antara 1929 dan 1940.
Upaya Rugg untuk memberikan pernyataan yang akurat tentang kekuatan dan
kelemahan masyarakat Amerika dalam buku pelajaran membawakan tingkat ketenaran yang
jarang diduplikasi di kalangan akademisi. Meskipun buku hangat diterima dan
banyak dibaca ketika mereka pertama kali muncul, sering dianggap subversif di
beberapa kalangan konservatif dan sebagai hasilnya akhirnya dijatuhkan oleh
sebagian besar kabupaten sekolah yang menggunakannya. Kontroversi atas buku
Rugg menyebabkan salah satu kasus stormiest dan paling sensasional sensor buku
teks dalam sejarah pendidikan Amerika. Hal ini masih merupakan studi kasus yang
sangat instruktif. Ruug juga menjabat sebagai psikolog pendidikan di Sekolah
Lincoln eksperimental. Pada tahun 1934 ia membantu mengorganisasi The Frontier
Sosial, sebuah jurnal sangat dihargai untuk analisis sosial dan pendidikan dari
sudut pandang liberal. Ia juga melayani selama lebih dari satu dekade sebagai
editor studi sosial Senior Scholastic dan selama 11 tahun sebagai editor
Journal of Psikologi Pendidikan. Pada berbagai waktu dalam karirnya ia adalah
seorang konsultan pendidikan atau dosen tamu di Timur Tengah, Timur Jauh, Eropa
Barat, Afrika Selatan, Australia, dan Selandia Baru. Selain itu, ia datang
untuk secara umum diakui sebagai delegasi tidak resmi dari American Progresif
Asosiasi Pendidikan untuk Pendidikan Baru internasional Fellowship.[7]
B.
Prinsip-Prinsip Pemikiran dalam Aliran Rekonstruksionisme
1.
Masyarakat dunia sedang dalam kondisi krisis
Krisis dunia
yang sedang dialami saat ini antara lain persoalan-persoalan tentang
kependudukan, sumber daya alam yang terbatas, kesenjangan global dalam
distribusi (penyebaran) kekayaan, prolefirasi nuklir, rasisme, nasionalisme
sempit, dan pengunaan teknologi yang ‘sembrono’ dan tidak bertanggung jawab. Jika
praktik-praktik yang ada sekarang tidak dibalik (diubah secara mendasar), maka
peradaban yang kita kenal ini akan mengalami kehancuran jika tidak dikoreksi
sesegera mungkin.
Persoalan-persoalan
tadi, menurut kalangan rekonstruksionis, berjalan seiring dengan tantangan
totalitarianisme modern, (yakni) hilangnya nilai-nilai kemanusiaan dalam
masyarakat luas dan meningkatnya ‘kedunguan’ fungsional penduduk dunia.
Persoalan-persoalan yang dihadapi dunia
sudah sedemikian beratnya sehingga tidak bisa lagi diabaikan.
2.
Solusi
efektif satu-satunya persoalan-persoalan dunia kita adalah penciptaan tatanan
sosial yang menjagat.
Mengingat
persoalan-persoalannya bersifat mendunia, maka solusinyapun harus demikian.
Kerjasama menyeluruh dari semua bangsa adalah satu-satunya harapan bagi
penduduk dunia yang berkembang terus yang menghuni dunia dengan segala
keterbatasan sumber daya alamnya. Era teknologi telah memunculkan saling
ketergantungan dunia, di samping juga kemajuan-kemajuan di bidang sains. Di
sisi lain, kita sedang didera kesenjangan budaya dalam beradaptasi dengan
tatanan dunia baru. Kita sedang berupaya hidup di ruang angkasa dengan sebuah
sistem nilai dan mentalis politik yang dianut di era kuda dan andong.
3.
Pendidikan formal dapat menjadi agen utama dalam rekonstruksi tatanan sosial.
Sekolah-sekolah
yang mereflesikan nilai-nilai sosial dominan, tutur rekonstruksionis, hanya
akan mengalihkan penyakit-penyakit politik, sosial, dan ekonomi yang sekarang
mendera umat manusia. Sekolah dapat dan harus mengubah secara mendasar peran
tradisionalnya dan menjadi sumber inovasi sosial. Tugas mengubah peran
pendidikan amatlah urgen,
karena kenyataan bahwa manusia sekarang mempunyai kemampuan memusnahkan diri.
Kritik-kritik rekonstruksi sosial
menandakan bahwa Brameld dan kolega-koleganya memberikan kepercayaan yang
sangat besar terhadap kekuatan guru dan pendidik lainnya untuk bertindak
sebagai intrumen utama perubahan sosial. Komentar kalangan
rekonstruksionis bahwa satu-satunya alternatif bagi rekonstruksi sosial adalah
kekacauan global dan kemusnahan menyeluruh peradaban dunia. Dari perspektif
mereka, pendidikan dapat menjadi instrumen untuk mengaburkan tuntutan mendesak
transformasi sosial dan kemudian merintangi perubahan, atau instrumen untuk
membentuk kenyakinan masyarakat dan mengarahkan peralihannya ke masa depan.
4.
Metode-metode
pengajaran
Metode-metode pengajaran harus didasarkan pada
prinsip-prinsip demokratis yang bertumpu pada kecerdasan ‘asali’ jumlah
mayoritas untuk merenungkan dan menawarkan solusi yang paling valid bagi
persoalan-persoalan umat manusia.
Kalangan
rekonstruksionis, seperti aliran-aliran gerakan progresif lainnya, tidaklah
tunggal dalam pandangan mereka tentang demokrasi sebagai sistem politik terbaik.
Dari perspektif mereka adalah sebuah keharusan bahwa prosedur-prosedur
demokratis perlu digunakan di ruangan kelas setelah para peserta didik
diarahkan kepada kesempatan-kesempatan untuk memilih diantara keragaman
pilihan-pilihan ekonomi, politik, dan sosial.
5.
Jika
pendidikan formal adalah
bagian tidak terpisahkan dari solusi sosial dalam krisis dunia sekarang, maka
ia harus secara aktif mengajarkan perubahan sosial.
Pendidikan
harus memunculkan kesadaran peserta didik akan persoalan-persoalan sosial dan
mendorong mereka untuk secara aktif memberiakan solusi. Kesadaran sosial kiranya dapat ditumbuhkan jika peserta
didik dibuat berani untuk mempertanyakan status
quo dan untuk mengkaji isu-isu kontroversial dalam agama, masyarakat, ekonomi, politik dan
pendidikan. Kajian dan diskusi kritis akan membantu peserta didik melihat
ketidakadilan dan ketidakfungsian beberapa aspek sistem sekarang ini dan akan
membantu mereka mengembangkan alternatif-alternatif bagi kebijaksanaan
konvensional.
Ilmu-ilmu
sosial, semisal antropologi, ekonomi, sosiologi, sain politik, dan psikologi
merupakan landasan kurikuler yang amat membantu kalangan rekonstruksionis untuk
mengidentifikasi lingkup persoalan utama kontroversi, konflik dan
inkonsistensi. Peran pendidikan adalah mengungkapkan lingkup persoalan budaya manusia
dan membangun kesepakatan seluas mungkin tujuan-tujuan pokok yang akan menata
umat manusia dalam tatanan
budaya dunia. Masyarakat dunia yang ideal, menurut rekonstrusionisme, haruslah
“berada di bawah kontrol mayoritas
warga masyarakat yang secara benar menguasai dan menentukan nasib mereka sendiri”.
C.
Pandangan-Pandangan dalam Aliran Rekonstruksionisme
a.
Pandangan
Ontologi
Dengan ontologi, dapat diterangkan tentang bagaimana
hakikat dari segala sesuatu. Aliran rekonstruksionisme memandang bahwa realita
bersifat universal, realita itu ada dan sama di setiap tempat. Untuk mengerti suatu realita beranjak dari sesuatu yang konkrit dan menuju ke arah yang khusus menampakkan diri dalam
perwujudan, sebagaimana kita
lihat di hadapan kita dan ditangkap
oleh panca indra manusia, serta
realita yang kita ketahui dan hadapi tidak terlepas dari suatu sistem, selain substansi yang dipunyai dari tiap-tiap benda, dan dapat
dipilih melalui akal pikiran.
Kemudian, tiap realita sebagai substansi selalu
cenderung bergerak dan berkembang dari potensilitas menuju aktualitas
(teknologi). Dengan demikian gerakan tersebut mencakup tujuan dan terarah guna
mencapai tujuan masing-masing dengan caranya sendiri dan diakui bahwa setiap relita
memiliki perpektif tersendiri.
Pada
prinsipnya, aliran rekonstruksionisme memandang alam metafisika merujuk
dualisme, yang menurut Bakry[8], aliran ini berpendirian
bahwa alam nyata mengandung dua macam hakikat sebagai asal sumber yakni hakikat
materi dan hakikat rohani. Descartes pernah menyatakan bahwa umumnya manusia
tidah sulit menerima prinsip dualisme, yang menunjukkan bahwa kenyataan
lahir dapat segera ditangkap panca indra
manusia, sementara itu kenyataan batin segera diakui dengan adanya akal dan
perasaan hidup. Dibalik gerak realita sesungguhnya terdapat kausalitas sebagai
pendorong dan merupakan penyebab utama atas kausa prima, yang dalam konteks ini
ialah Tuhan sebagai penggerak sesuatu tanpa gerak. Tuhan adalah
aktualitas murni yang sunyi dan substansi.
Menurut Syam[9], alam
pemikiran yang demikian bertolak dari gerakan intelektualitas pada abad
pertengahan yang mencapai kristalisasi paa abad IX-XIV, memberikan argumentasi rasio tentang eksistensi tuhan.
Alselpus, seorang tokoh utama sholastik, menyatakan bahwa secara kritis realita
semesta dapat dipahami dan tidak ada sesuatu di alam nyata ini di luar kekuasaan Tuhan karena semua itu sebagai perwujudan
dari kesempurnaannya. Dalam perkembangan selanjutnya, penafsiran yang demikian
didukung oleh Thomas Aqiunes yang inti pembicaraannya untuk mengetahui realita yang
ada yang harus berdasarkan iman dan perkembangan rasional hanya dapat dijawab
dan mesti diikuti dengan iman.
b.
Pandangan
Epistemologi
Kajian epistimologi aliran ini lebih merujuk pada
pendapat aliran pragmatisme (progressive) dan perenialisme. Berpijak dari pola
pemikiran bahwa untuk memahami realita alam nyata memerlukan suatu azas tahu
dalam arti bahwa tidak mungkin memahami realita ini tanpa melalui proses
pengalaman dan hubungan dengan realita terlebih dahulu melalui penemuan suatu
pintu gerbang ilmu pengetahuan. Karenanya, baik indra maupun rasio sama-sama
berfungsi membentuk pengetahuan, dan akal dibawa oleh panca indera menjadi
pengetahuan dalam yang sesungguhnya.
Aliran ini juga berpendapat bahwa dasar dari suatu
kebenaran dapat dibuktikan dengan self evidence, yakni bukti yang ada
pada diri sendiri, realita dan eksestensinya. Pemahamannya bahwa pengetahuan
yang benar buktinya ada di dalam pengetahuan ilmu itu sendiri. Sebagai
ilustrasi, adanya Tuhan tidak
perlu dibuktikan dengan bukti-bukti lain atas eksitensi tuhan (self evidence).
Kajian tentang kebenaran itu diperlukan suatu pemikiran, metode yang diperlukan
guna menuntun agar sampai kepada pemikiran yang hakiki. Penalaran-penalaran
memiliki hukum-hukum tersendiri agar dijadikan pegangan ke arah penemuan definisi atau pengertian
yang logis.
Ajaran yang dijadikan pedoman berasal dari Aristoteles
yang membicarakan dua hal pokok, yakni pikiran (ratio) dan bukti (evidence),
dengan jalan pemikirannya adalah silogisme. Silogisme menunjukkan hubungan
logis antara premis mayor, premis minor dan kesimpulan (conclution), dengan
memakai cara pengambilan kesimpulan deduktif dan induktif.[10]
Pandangan
ilmu dan filsafat tetap diakui urgensinya, dikarenakan analisa empiris dan
analisa ontologism keduanya dapat dianggap komplementif, tetapi filsafat tetap
dapat berdiri sendiri dan ditentukan oleh hukum-hukum dalam filsafat itu sediri
tanpa bergantung pada ilmu pengetahuan. Namun demikian, meskipun filsafat dan
ilmu berkembang kea rah yang lebih sempurna, tetap disetujui bahwa kedudukan
filsafat lebih tinggi dibandingkan ilmu pengetahuan.
c.
Pandangan
Ontologis
Dalam proses interaksi sesama manusia, diperlukan nilai-nilai. Begitu
juga halnya dalam hubungan manusia dengan sesamanya dan alam semesta tidak
mungkin melakukan sikap netral, akan tetapi manusia sadar ataupun tidak sadar
telah melakukan proses penilaian, yang merupakan kecenderungan manusia. Tetapi secara umum ruang lingkup
(scope) tentang pengertian “nilai” tidak terbatas.
Barnadib
mengungkapkan bahwa aliran rekonstruksionisme memandang masalah nilai
berdasarkan azas-azas supernatural yakni menerima nilai natural yang universal,
yang abadi berdasarkan prinsip nilai teologis.[11] Hakikat manusia
adalah emanasi (pancaran) yang potensial yang berasal dari dan dipimpin oleh
tuhan dan atas dasar inilah tinjauan tentang kebenaran dan keburukan dapat
diketahuinya. Kemudian manusia sebagai subyek telah memiliki potensi-potensi
kebaikan dan keburukan sesuai dengan kodratnya. Kebaikan itu akan tetap tinggi
nilainya bila tidak dikuasai oleh hawa nafsu belaka, karena itu akal mempunyai
peran untuk memberi penentuan.
Neo-thomisme
memandang bahwa etika, estetika dan politik sebagai cabang dari filsafat
praktis, dalam pengertian tetap berhubungan dan berdasarkan pada
prinsip-prinsip dari praktek-praktek dalam tindakan-tindakan moral, kreasi
estetika dan organisasi politik. Karenanya, dalam arti teologis manusia
perlu mencapai kebaikan tertinggi, yakni bersatu dengan tuhan, kemudian
berfikir rasional. Dalam kaitannya dengan estetika (keindahan), hakikat
sesungguhnya adalah tuhan sendiri. Keindahan yang maujud itu hanyalah keindahan
khusus, pancaran unsur keindahan universal yang abadi.
Aristoteles
memandang bahwa kebajikan dibedakan menjadi dua macam, yakni kebajikan
intelektual dan kebajikan moal, kebajikan moral merupakan suatu kebajikan
berdasarkan pembiasaan dan merupakan dasar dari kebajiakan intelektual.[12]
D.
Teori Pendidikan Rekonstruksionisme
Menurut Brameld (kneller,1971)
teori pendidikan rekonstruksionisme ada 5 yaitu:[13]
1)
Pendidikan
harus di laksanakan di sini dan sekarang dalam rangka menciptakan tata sosial
baru yang akan mengisi nilai-nilai dasar budaya kita, dan selaras dengan yang
mendasari kekuatan-kekuatan ekonomi, dan sosial masyarakat modern.
2)
Masyarakat
baru harus berada dalam kehidupan demokrasi sejati dimana sumber dan lembaga
utama dalam masyarakat dikontrol oleh warganya sendiri.
3)
Anak,
sekolah, dan pendidikan itu sendiri dikondisikan oleh kekuatan budaya dan
sosial.
4)
Guru harus menyakini terhadap validitas dan urgensi
dirinnya dengan cara bijaksana dengan cara memperhatikan prosedur yang
demokratis
5)
Cara dan tujuan pendidikan harus diubah kembali
seluruhnya dengan tujuan untuk menemukan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan
dengan krisis budaya dewasa ini, dan untuk menyesuaikan kebutuhan dengan sains
sosial yang mendorong kita untuk menemukan nilali-nilai dimana manusia percaya
atau tidak bahwa nilai-nilai itu bersifat universal. Meninjau kembali penyusunan kurikulum, isi
pelajaran, metode yang dipakai, struktur administrasi, dan cara bagaimana guru
dilatih.
E.
Implikasi
Aliran Filsafat Rekonstruksionisme dalam Pemecahan Masalah Pendidikan
Aliran
rekonstruksionisme melihat adanya krisis atau masalah yang sangat kronis dan
mengakhawatirkan terutama dalam persoalan pendidian dalam dunia modern saat
ini. Pendidikan pada masa modern telah banyak mengalami pergeseran makna.
Pergeseran makna tersebut telah menimbulkan kehidupan modern yang penuh dengan
kebobrokan, kerusakan, kebingungan, dan tidak menentunya prinsip manusia,
sehingga manusia modern sudah banyak kehilangan jati diri mereka. Aliran
rekonstruksionisme menganggap telah terjadi kegagalan dalam sistem pendidikan
modern dan mengalami kegagalan dalam pendidikan dunia modern (progresif).
Sistem pendidikan modern telah banyak terjebak dalam pendidikan yang bersifat
pragmatis. Maka, dari pemikiran-pemikiran para rekonstruksionis dapat
diimplikasikan untuk mengatasi permasalahan-permaslahan pendidikan modern yang
bersifat progresif. Adapun implikasinya dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1.
Rekonstruksionisme
Sebagai Perombak Sistem Pendidikan
Rekonstruksionisme sebagai perombak sistem pendidikan dapat diklasifikasi
dalam beberapa tinjauan pokok, antara lain sebagai perombak sistem pendidikan
yang ditinjau dari tujuan pendidikan, metode pendidikan, dan kurikulum
pendidikan.
a.
Tinjauan
dari Tujuan Pendidikan
Hakekat dari
tujuan pendidikan adalah menjadikan peserta didik tumbuh dan berkembang lebih
baik, yaitu dengan cara menciptakan generasi yang mengalami kemajuan, antara
lain memiliki kecerdasan intelektual, cakap, terampil, dan yang terpenting
adalah dapat menjadi individu yang berkualitas. Pembinaan kembali daya
intelektual dan spiritual yang sehat akan membina kembali manusia melalui
pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang benar pula demi generasi
sekarang dan generasi yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam
pengawasan umat manusia. Berawal dari tujuan pendidikan tersebut, maka sekolah-sekolah rekonstruksionis berfungsi
sebagai lembaga utama untuk melakukan perubahan sosial, ekonomi dan politik dalam
masyarakat. Perubahan
dilakukan dengan cara melakukan sebuah perombakan secara menyeluruh sistem
pendidikan modern yang memiliki kecenderungan bersifat pragmatis menjadi sebuah
pendidikan dengan sistem yang kompleks, yaitu peserta didik yang berkualitas
secara menyeluruh sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan yang tertinggi.
Wujud nyata
yang ingin dicapai dalam pendidikan rekonstruksionis adalah dapat teraksananya
tugas sekolah-sekolah
rekonstruksionis yaitu mengembangkan ”insinyur-insinyur” sosial,
warga-warga negara yang mempunyai tujuan mengubah secara radikal wajah
masyarakat masa kini.
Adapun
tujuan secara spesifik dari
pendidikan rekonstruksionis adalah membangkitkan kesadaran para peserta didik
tentang masalah sosial, ekonomi dan politik yang dihadapi umat manusia dalam
skala global, dan mengajarkan kepada mereka keterampilan-keterampilan yang
diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut.
b.
Tinjauan
dari Metode Pendidikan
Banyaknya
permasalahan dalam pendidikan menuntut keberanian untuk dapat mengkritisi
tentang kegagalan-kegagalan pendidikan modern. Peserta didik diharapkan dapat
memberikan sebuah penilaian tentang sistem pendidikan modern, kemudian dapat
melakukan sebuah refleksi sebagai usaha pembaharuan sistem pendidikan modern
yang cenderung pragmatis.
Analisis
kritis terhadap kerusakan-kerusakan masyarakat dan kebutuhan-kebutuhan
programatis sangat dibutuhkan
sebagai sebuah usaha untuk
perbaikan sistem pendidikan
masa kini. Dengan demikian, metode-metode pendidikan yang dapat
digunakan menurut para rekonstruksionis dalam proses pembelajaran dan
pendidikan dapat menggunakan
metode-metode yang menuntut
keaktifan peserta didik dan keterampilan serta kecakapan peserta didik dalam memecahkan masalah, menganalisis kebutuhan hidup, dan penyusunan program aksi perbaikan masyarakat, karena pada hakekatnya pendidikan dituntut untuk
dapat mewujudkan generasi yang mampu mengatasi setiap permasalahan kehidupan
secara menyeluruh, bukan hanya sekedar pendidikan yang bertujuan secara
pragmatis.
c.
Tinjauan
dari Kurikulum Pendidikan
Kurikulum
pendidikan disusun dengan
berisikan mata-mata pelajaran yang berorientasi
pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat masa depan. Kurikulum dituntut untuk memuat mata-mata
pelajaran yang berorientasi kepada fungsinya yaitu mewujudkan pendidikan yang
dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan dalam kehidupan berteknologi
modern, bahkan dapat memanfaatkan dan mengembangkan teknologi-teknologi modern
sebagai suatu alat mengembangkan peradaban kehidupan manusia. Kurikulum dalam
sekolah-sekolah rekonstruksionis haruslah dapat mengikuti perkembangan zaman.
Dalam kurikulum pada sekolah-sekolah rekonstruksionis banyak berisi masalah-masalah yang kompleks, yaitu masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik yang dihadapi
umat manusia, yang termasuk di dalamnya
masalah-masalah pribadi para peserta didik itu sendiri, sehingga peserta didik
telah terbiasa dididik untuk dapat menyelesaikan suatu permasalahan hidup
secara nyata. Selain itu kurikulum juga berisikan program-program perbaikan yang ditentukan secara
ilmiah untuk aksi kolektif.
Struktur
organisasi dalam kurikulum sekolah-sekolah rekonstruksionis terbentuk dari cabang-cabang ilmu sosial
dan proses-proses penyelidikan ilmiah sebagai metode pemecahan masalah.
2.
Rekonstruksionisme
Sebagai Perombak Struktur Susunan dalam Pendidikan
Selain rekonstruksionisme sebagai perombak sistem pendidikan, pemikiran
dalam aliran rekonstruksionisme juga dapat dijadikan sebagai perombak struktur
susunan dalam pendidikan yang dapat diklasifikasikan dalam beberapa tinjauan
pokok, antara lain sebagai perombak sistem pendidikan yang ditinjau dari peran
peserta didik dan peran pendidik dalam kegiatan belajar mengajar.
a.
Peran Peserta Didik
Peserta
didik adalah generasi muda
yang sedang tumbuh menjadi manusia pembangun masyarakat masa depan. Sebagai pembangun masyarakat masa depan
tentunya bukan tugas yang mudah, karena tugas tersebut yang menjadikan peran
peserta didik sebagai penentu kemajuan atau kemunduran suatu bangsa. Begitu pentingnya peran peserta didik
yaitu sosok yang sangat diharapkan suatu bangsa dalam menentukan nasibnya, maka
peserta didik perlu berlatih
keras untuk menjadi insinyur-insinyur sosial yang diperlukan untuk membangun
masyarakat masa depan.
Peserta didik harus dibekali pengetahuan secara kontekstual sehingga peserta
didik mampu memahami pengetahuan tersebut bukan hanya dari segi intelegensi
kognisi saja, akan tetapi peserta didik dituntut untuk dapat lebih memahami bagaimana
cara menerapkan pengetahuan itu sendiri sebagai suatu alat untuk memecahkan
masalah-masalah dalam kehidupan.
Peserta
didik akan dapat merealisasikan perannya dengan baik manakala didukung oleh
faktor-faktor pendukungnya, baik faktor-faktor intern, yaitu faktor-faktor
pendukung yang berasal dari diri pribadi peserta didik itu sendiri, maupun
faktor-faktor ekstern, yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar individu
peserta didik.
b.
Peran Pendidik
Pendidik
merupakan sosok manusia yang memiliki tugas untuk memberikan pembelajaran dan
pendidikan kepada peserta didik. Pendidikan yang ideal yaitu pendidikan yang
dalam proses pelaksanaannya bukan hanya sekedar melakukan transfer of
knowledge atau dengan kata lain hanya ditekankan pada inner knowledge,
akan tetapi yang sangat penting untuk dapat mengatasi permasalahan-permasalahan
dalam kehidupan secara nyata adalah proses pendidikan dengan melakukan transfer
of value atau ditekankan pada inner experience. Maka, peran pendidik harus mampu membuat para peserta didik menyadari masalah-masalah yang dihadapi umat
manusia, mambatu mereka merasa mengenali masalah-masalah tersebut sehingga
mereka merasa terikat untuk memecahkannya.
Pendidik harus terampil dalam membantu peserta
didik menghadapi kontroversi dan perubahan. Pendidik harus mampu menumbuhkan cara berpikir yang berbeda-beda sebagai suatu cara untuk menciptakan alternatif-alternatif pemecahan masalah yang
menjanjikan keberhasilannya. Dalam hal ini Pendidik harus mampu menciptakan
inovasi-inovasi terbaru dalam meningkatkan kualitas dari pendidikannya.
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam konteks
pendidikan, aliran
rekonstruksionisme berupaya melakukan sebuah perombakan dalam pendidikan yang
bertujuan untuk merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup
kebudayaan yang bercorak modern serta membina suatu konsensus yang paling luas
dan mungkin mengenai tujuan pokok tertinggi dalam kehidupan manusia. Mereka
bermaksud ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang dipandang pantas dan
adil dengan rekonstruksi-rekonstruksi yang ditawarkannya.
Adapun upaya yang dapat dilakukan oleh
aliran rekonstruksionisme untuk dapat memperbaiki sistem pendidikan supaya
tidak terkungkung dalam sebuah pendidikan yang amat tradisional dan tidak dapat
menyesuaikan perkembangan zaman, akan tetapi juga tidak terjebak dalam
pemahaman tentang pendidikan yang pragmatis adalah dengan implikasi-implikasi
dari pemikiran-pemikiran pada aliran rekonstruksionisme yang dapat
diklasifikasikan menjadi rekonstruksionisme sebagai perombak sistem pendidikan
yang dilihat dari tinjauan terhadap tujuan pendidikan, metode pendidikan, dan kurikulum
pendidikan, serta rekonstruksionisme sebagai perombak struktur susunan dalam
pendidikan yang dilihat dari tinjauan pendidik dan peserta didik itu sendiri.
Rekomendasi
Melihat berbagai permasalahan dalam
pendidikan di dunia modern ini, sangat dibutuhkan adanya inovasi baru dalam
pendidikan di Indonesia guna melakukan sebuah perombakan secara menyeluruh
dalam pelaksanaan pendidikan. Salah satu upaya penciptaan inovasi baru dalam
pendidikan adalah dengan mengambil sebuah pemikiran dari aliran
rekonstruksionisme, yaitu pendidikan pada masa kini harus lebih peka terhadap
permasalahan kehidupan secara nyata, sehingga peserta didik dituntut untuk
dapat lebih memahami bagaimana cara menerapkan pengetahuan itu sendiri sebagai
suatu alat untuk memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan.
DAFTAR
PUSTAKA
Gandhi, Teguh
Wangsa. Filsafat Pendidikan
(Mazhab-mazhab Filsafat Pendidikan). Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Jalaluddin & Abdullah Idi. 2010. Filsafat
Pendidikan :Manusia, Filsafat, dan Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Muhadjir, Noeng. 2001. Filsafat Ilmu: Positivisme, PostPositivisme, dan
PostModernisme. Yogyakarta: Rakesarasin.
Todd, Emmanuel. 2007. Menjelang Keruntuhan Amerika. Bekasi
Timur: Menara.
[1]Jalaluddin & Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (Manusia, Filsafat, dan
Pendidikan), (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 118.
[2]Teguh Wongso Gandhi H. W., Filsafat Pendidikan (Mazhab-mazhab Filsafat
Pendidikan), (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 191.
[3]Teguh Wongso Gandhi H. W., Filsafat Pendidikan (Mazhab-mazhab Filsafat
Pendidikan), (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 189.
[4] Emmanuel Todd, Menjelang Keruntuhan Amerika, (Bekasi Timur: Menara, 2007),hlm.48.
[5]Aliran Rekonstruksionisme dalam
Pendidikan, from: http://www.nd.edu/~rbarger/www7/gcounts.html,
05/05/2011.
[6]Aliran Rekonstruksionisme
dalam Pendidikan, from: http://www.froebelweb.org/web2027.html,
05/05/2011.
[7] Murry Nelson, Gale Encyclopedia of
Biography, from: http://www.answer.com/topic/harold-rugg,
05/05/2011.
[8] Jalaluddin & Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan :Manusia, Filsafat, dan
Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 98.
[13] MTP-UNJA 2009, Aliran
Rekonstruksionisme dalam Pendidikan, from: http://kukuhsilautama.wordpress.com/2011/03/31/aliran-rekonstruksionisme-dalam-pendidikan,
05/05/2011
20.13
Lutfi
PROGRESIVISME
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Progresivisme
sebagai salah satu teori pendidikan, muncul sebagai bentuk reaksi terhadap pola
pendidikan tradisional yang menekankan metode-metode formal pengajaran, belajar
mental (kejiwaan), dan susastra klasik peradaban Barat.[1]
Aliran ini mendukung pemikiran baru yang dipandang lebih baik bagi kemajuan
yang akan datang.
Progresivisme,
yang merupakan sebuah aliran filsafat pendidikan ini lahir dari dunia barat.
Karena kelahiran progresiviseme yang dari dunia barat inilah menyebabkan
progresivisme memiliki corak epistimologi khas barat. Walaupun demikian, bukan
berarti progresivisme tidak dapat diterapkan di dunia timur.
Aliran
progresivisme mendorong perubahan-perubahan yang ada dalam dunia pendidikan. Aliran
ini mampu mempengaruhi pandangan intelektual tokoh-tokoh dunia dan sekaligus
memicu perkembangan teori-teori pendidikan Yaitu dunia pendidikan yang
memerlukan kemodernan di dalamnya. Dunia pendidikan yang dapat menjawab laju
pertumbuhan teknologi yang semakin hari semakin cepat.
Pertumbuhan dan
kemajuan teknologi yang begitu pesat, menuntut pendidikan harus lebih cepat untuk maju dan survive.
Sehingga pendidikan adalah jawaban dari banyak hal yang merintangi dalam roda
perjalanan kehidupan.
Sehubungan
dengan itu, bagaimana aliran progresivisme ini memandang esensi dari pendidikan
itu sendiri sebagai bagian pokok dari kelahiran kemajuan guna survive dalam
setiap nafas kehidupan yang senantiasa mengalami kemajuan dan perkembangan yang
begitu cepat?
Lalu bagaimana
implikasi dari konsep aliran progresvisme ini terhadap pendidikan serta
bagaimana pula kurikulum yang terpengaruh dengan prinsip-prinsip aliran
progresivisme? Hal inilah yang menjadikan progresivisme menjadi lebih menarik
dalam setiap pokok pembahasannya.
Selangkah lebih
maju dari aliran sebelumnya, progresivisme memberikan jawaban atas beberapa
masalah yang ada dalam pendidikan sebagai arah pokok kemajuan itu sendiri.
Progresivisme mencoba menjawab kemajuan jaman dengan pendidikan yang berpusat
pada kemajuan itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas,
secara sederhana dapat dirumuskan inti permasalahan yang menjadi pokok bahasan
makalah ini, yaitu:
1.
Bagaimana latar
belakang munculnya
aliran filsafat progresivisme?
2.
Apa esensi pendidikan
menurut aliran filsafat progresivisme?
3.
Bagaimana
implikasi aliran filsafat progresivisme
terhadap pendidikan?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Munculnya Progresivisme
Progresivisme bukan merupakan suatu
bangunan filsafat atau aliran filsaat yang berdiri sendiri, melainkan merupakan
suatu gerakan atau perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918.[2]
Progresivisme dalam pendidikan
adalah bagian dari gerakan reformasi umum ssosial-politik yang menandai
kehidupan Amerika di akhir abad XIX dan awal abad XX, disaat Amerika berusaha
menyesuaikan diri dengan urbanisasi dan industrialisasi masif.[3]
Progresivisme sebagai sebuah teori
pendidikan muncul sebagai bentuk reaksi terbatas terhadap pendidikan
tradisional yang menekankan metode-metode formal pengajaran, belajar mental
(kejiwaan), dan kesusastraan
klasik peradaban Barat. Pengaruh intelektual utama yang melandasi pendidikan
progresif adalah John Dewey, Sigmund Freud, dan Jean Jacques Rousseau.
Dewey menjadikan sumbangan
pemikirannya sebagai seorang filsuf aliran pragmatik yang menuliskan banyak hal
tentang landasan-landasan filosofis pendidikan dan berupaya menguji keabsahan
gagasan-gagasannya dalam laboratorium sekolahnya di Universitas Chicago. Dengan
demikian pragmatime kiranya dapat dilihat sebagai pengaruh utama dalam teori
pendidikan progresif.
Pengaruh kedua adalah teori
psikoanalisis Freud. Teori Freudian menyokong banyak kalangan progresif dalam
mencuatkan suatu kebebasan yang lebih bagi ekspresi diri diantara anak-anak dan
suatu lingkungan pembelajaran yang lebih terbuka dimana anak-anak dapat
melepaskan energi dorongan-dorongan instingtif mereka dalam cara-cara kreatif.
Pengaruh ketiga adalah karya Emile
(1762) Rousseau. Karya ini secara khusus menarik hati kalangan progresif yang
menentang terhadap adanya campur tangan orang-orang dewasa dalam menetapkan
tujuan-tujuan pembelajaran atau kurikulum subjek didik.
Perlu dicatat bahwa penekanan child
centered (berpusat pada subjek didik) kiranya lebih sesuai dengan pemikiran
Rousseau dan Freud daripada dengan pemikiran Dewey, sekalipun Dewylah yang
secara umum menerima cercaan lantaran berbagai kritik pada pendidikan progresif. Pengaruh-pengaruh
intelektual yang mendasar itu kemudian dikembangkan
ke dalam teori pendidikan progresif
dan dipraktekan di sekolah
secara aktif.
Teori progresif dalam keutuhannnya
tidak prnah menjadi praktik utama dalam lingkup luas sistem-sistem sekolah, apa
yang diadopsi adalah serpihan-serpihan progresivisme yang dicampur dengan
metode-metode lain dalam corak elektik.
Kalangan progresif, tidak dilihat sebagai sebuah
kelompok yang terpadu dan seragam menyangkut semua persoalan teoritis. Walaupun dalam kenyataannya
para kalangan progresivisme sama-sama menentang terhadap praktik-praktik
sekolah tertentu (yang masih menggunakan corak pemikiran tradisional dalam
pelaksanaannya). Allan Ornstein menuliskan bahwa mereka (kalangan
progresivisme) secara umum mencerca hal-hal berikut:
1.
Guru yang otoriter
2.
Terlalu bertumpu pada text books atau metode pengajaran yang
berorientasi buku
3.
Belajar pasif dengan
penghafalan informasi dan data faktual
4.
Pendekatan empat
dinding bagi pendidikan yang berusaha mengisolasikan pendidikan dari realitas
sosial, dan
5.
Pengunaan hukum
menakutkan atau fisik sebagai suatu bentuk pendisiplinan.
Kekuatan organisasional utama
progresivisme dalam pendidikan adalah Asosiasi Pendidikan Progresif (1919-1955
M). Pendidikan progresif harus
dillihat, baik sebagai gerakan terorganisir maupun sebagai teori. Jika seseorang berupaya
memahami sejarah dan pengaruhnya. Dalam kedua sisi itu, pendidikan progresif mencuatkan isi
prinsip-prinsip pokok. Beberapa ide gagasan progresif telah diperbarui dalam
humanisme pendidikan akhir dekade 1960-an dan awal 1970-an.[4]
1.
Negative
and diagnostic yang berarti: bersikap anti
terhadap otoritarianisme dalam absolutisme dalam segala bentuk baik yang kuno
maupun yang modern, yang meliputi semua bidang kehidupan manusia : agama,
moral, social, politik dan ilmu pengetahuan, dan ciri kedua
2.
Positive
and remedial, yakni suatu pernyataan dan kepercayaan
atas kemampun manusia sebagai subyek yang memiliki potensi-potensi alamiah,
terutama kekuatan-kekuatan self-regenerative
untuk menghadapi dan mengatasi sebuah problem hidupnya.
Latar belakang ide-ide filsafat Yunani,
baik Heraklitos maupun Socrates, bahkan juga Protagoras amat mempengaruhi
aliran ini.
Ide Socrates yang menyatukan nilai ilmu
pengetahuan dengan prinsip-prinsip moral, dianggap berpengaruh
atas progressivisme. Karena ilmu kebaikan manusia tercapai, menjadikan ilmu mempunyai nilai
ethis, nilai bina kepribadian. Dan kepribadian ideal ialah yang berilmu dalam
arti demikian, sebab ilmu dan kebaikan pribadi adalah identik.
Filosof Prancis Bacon telah menanamkan
asas metode experiment yang
kemudian menjadi metode utama dalam filsafat pendidikan progressivisme. John
Locke, tidak saja teorinya tentang empirisme yang menekankan factor luar yang
amat dominan dalam pembinaan kepribadian. Tapi juga teorinya tentang asas
kemerdekaan, lebih-lebih yang dilaksanakan sebagai kemerdekaan politik yang
menghormati hak asasi manusia sebagai pribadi. Demikian pula Rousseau yang
meyakini kebaikan kodrat manusia, yang menghormati perkembangan alamiah anak.
Akhirnya tokoh-tokoh pelopor bangsa
Amerika seperti Benjamin Franklin, Thomas Paine, Thomas Jefferson telah
mempengaruhi progressivisme dalam sikapnya yang menentang dogmatism, dan sikap
positif yang menjunjung hak asasi individu dan nilai-nilai demokrasi.
Di samping pengaruh-pengaruh tokoh filsafat
diatas, ada pula pengaruh kebudayaan yang secara khusus ditulis oleh Brameld
sebagai tiga factor kebudayaan yang
berpengaruh atas perkembangan progresivisme.
1.
Revolusi Industri
Revolusi
industry adalah istilah yang dipakai untuk suatu era dari ekonomi modern yang
merubah keadaan social politik manusia. Era ini ditandai dengan kemerosotan
feodalisme dan timbulnya serta matangnya kapitalisme.
2. Modern Science
Sumbangan
utama ilmu pengetahuan modern yang amat bermanfaat bagi filsafat progressivisme
ialah dalam kekuatan metode-metode baru dalam membina kemampuan adaptasi
manusia terhadap lingkungan. Yakni cara-cara yang timbul dan berkembang didalam
kondisi-kondisi lingkungan hidup itu sendiri seperti pengujian terhadap suatu teori,
analisa dan proses kejelasan sesuatu, dan control atas induksi makin utama
dibandingkan dengan metode deduksi.
3.
Perkembangan Demokrasi
Seperti
juga perkembangan industry dan science, maka perkembangan masyarakat
demokrasi amat berpengaruh atas kebudayaan modern umumnya, khususnya kepada
progressivisme. Malahan ketiga bidang itu, industry,
science dan demokrasi langsung ataupun tak langsung mempunyai pengaruh satu
sama lain.
B. Esensi Pendidikan
Pengertian dasar yang menjadi ciri dari aliran ini
adalah progres yang berarti maju. Progresivisme lebih mengutamakan perhatiannya
ke masa depan daripada ke masa lalu.
Progresivisme memandang bahwa kemajuan
yang telah dicapai oeh manusia dewasa ini karena kemampuan manusia dalam
mengembangkan berbagai
ilmu. Ini meliputi ilmu-ilmu sosial, budaya, maupun ilmu pengetahuan alam.
Contoh untuk menjelaskan pandangan
progresivisme tersebut dapat diambil dari antropologi dan psikologi. Dari
antropologi dapat dipelajari bahwa manusia membentuk masyarakat, mengembangkan
kebudayaan, dan telah berhasil untuk terus membina kehidupan dan peradaban. Kehidupan dan
dan peradaban yang dibina oleh manusia itu selalu diupayakan untuk mendapat
kemajuan.
Dari psikologi dapat dipelajari bahwa
manusi mempunyai akal budi. Dengan kemampuan pikirannya dan pengembangan
imajinasinya ternyata manusia mampu kreatif untuk meringankan hidupnya dengan
ciptaannya. Semuanya itu digunakan untuk meraih kemajuan dalam kehidupannya.
Dalam perkembangannya sampai dewasa ini,
progresivisme mempunyai dua corak, yaitu yang disebut seleksi natural (natural srlection) dan
eksperimentalisme (experimentalism).
Corak seleksi natural diadaptasikan dari darwinisme sosial, sedangkan eksperimentalisme
bersumber pada teori pendidikan John dewey.[6]
Aliran ini sangat berpengaruh dalam
pembahasan pendidikan yang di dorong oleh aliran naturaisme dan
eksperimentalisme, instrumentalisme, evironmentalisme, dan pragmatisme sehingga
penyebutaan nama progresivisme sering disebut salah satu dari nama-nama aliran
tadi. Progresivisme dalam pandangannya selalu berhubungan dengan pengertian “the
liberal road to culture” yakni liberal
dimaksudkan sebagai fleksibel (lentur dan tidak kaku), toleran dan bersikap
terbuka, serta ingin mengetahui dan menyelidiki demi pengembangan pengalaman.[7]
Ciri-ciri utama aliran progresifisme
antara lain:[8]
1.
Manusia sebagai subjek
yang memiliki kemampuan menghadapi dunia dan lingkungan hidupnya.
2.
Manusia mempunyai
kemampuan untuk mengatasi dan memecahkan masalah-masalah yang akan mengancam
manusia itu sendiri.
3.
Pendidikan dianggap
mampu untuk mengubah dan menyelamatkan manusia demi masa depan.
Menurut progresivisme proses pendidikan
mempunyai dua segi, yaitu psikologis dan sosiologis. Dari segi sosiologis, pendidik
harus dapat mengetahui tenaga-tenaga atau daya-daya yang ada pada anak didik
yang akan dikembangkan. Psikologisnya seperti
yang ada di Amerika, yaitu psikologi dari aliran Behaviorisme dan Pragmatisme.
Dari segi sosiologis, pendidik harus mengetahui ke mana tenaga-tenaga itu harus
dibimbing.[9]
Tujuan umum pendidikan adalah warga
masyarakat yang demokratis. Isi pendidikannnya lebih mengutamakan bidang-bidang
studi seperti IPA, Sejarah, Keterampilan, serta hal-hal yang berguna atau
langsung dirasakan oleh masyarakat.
Metode scientific lebih dipentingkan daripada memorisasi. Praktek kerja di
laboratorium, di bengkel, di kebun/lapangan, merupakan kegiatan yang dianjurkan
dalam rangka terlaksananya “learning by
doing” (belajar sambil bekerja, terintegrasi dalam satu unit).
Sikap progresivisme yang memandang
segala sesuatu berdasarkan fleksibilitas, dinamika dan sifat-sifat lain yang
sejenis, tercermin dalam pandangannya mengenai kurikulum sebagai pengalaman
yang edukatif, bersikap eksperimental dan adanya rencana dan susunan yang
teratur. Kurikilum haruslah terbuka kemungkinan adanya peninjauan dan
penyempurnaan. Fleksibilitas ini dapat membuka kemungkinan bagi pendidikan
untuk memperhatikan tiap anak didik dengan sifat-sifat dan kebudayaan
masing-nasing. Selain ini semuanya diharapkan dapat sesuai dengan keadaan dan kebutuhan
setempat.
Oleh karena sifat kurikulum yang tidak baku dan dapat di revisi
ini, maka jenis yang memadai adalah kurikulum yang “berpusat pada penggalaman”.
Selain itu, menurut pogresivisme, yang dapat dipandang maju adalah tipe yang di
sebut “core curriculum” ialah
sejumlah pengalaman belajar di sekitar pengalaman umum.[10]
Secara umum terdapat beberapa prinsip
pendidikan menurut pandangan progresivisme, antara lain:[11]
1.
Pendidikan adalah hidup
itu sendiri, bukan persiapan untuk hidup. Kehidupan yang baik adalah kehidupan
intelegen, yaitu kehidupan yang mencakup interpretsi dan rekontruksi
pengalaman. Anak akan memasuki situasi belajar yang disesuaikan usianya dan
berorientasi pada pengalaman. Tidak ada tujuan umum dan akhir pendidikan.
Pendidikan adalah pertumbuhan berikutnya.
2.
Pendidikan harus
berhubungan secara langsung dengan minat anak
dan minat individu, yang
dijadikan sebagai dasar motivasi belajar. Sekolah menjadi “child centered”, dimana proses
belajar ditentukan
terutama oleh anak. Secara kodrati anak suka belajar apa saja yang
berhubungan dengan minatnya, atau untuk
memecahkan masalahnya. Begitu
pula pada dasarnya anak akan menolak apa yang dipaksakan kepadanya. Anak akan
belajar dan mau belajar karena merasa`perlu, tidak kkarena terpaksa oleh orang
lain. Anak akan melihat relevansi dari apa yang dipelajari terhadap
kehidupannya, bahan juga terhadap konsepsi kehidupan orang dewasa.
3.
Belajar melalui
pemecahan masalah akan menjadi presenden terhadap pemberian subjeck matter.
Jadi, belajar harus dapat memecahkan masalah yang penting dan bermanfaat bagi kehidupan anak. Dalam
memecahkan masalah, anak dibawa berpikir melewati beberapa tahapan, yang
disebut metode berpikir ilmiah sebagai berikut:
a.
Anak menghadapi
keraguan, merasakan adanya masalah
b.
Menganalisis masalah
tersebut, dan menduga atau menyusun hipotesis-hipotesis yang mungkin
c.
Mengumpulkan data yang
akan membatasi dan memperjelas masalah
d.
Memilih dan
menganalisis hipotesis
e.
Mencoba, menguji, dan
membuktikan.
4.
Peran guru tidak
langsung, melainkan memberi petunjuk kepada siswa. Kebutuhan dan minat siswa
akan menentukan apa yang mereka pelajari. Anak harus diizinkan untuk
merencanakan perkembangan diri mereka sendiri, dan guru harus membimbing
kegiatan belajar.
Di
sisi lain dengan pengalaman guru yang lebih banyak dari peserta didik
menempatkannya pada posisi sebagai pemandu di wilayah yang pernah ia lalui,
sebagai nasihat peserta didik ketika mengalami jalan buntu. Guru juga sebagai pengawal perjalanan di lingkungan
baru yang berubah, berkembang, secara terus-menerus.
5.
Sekolah harus memberi
semangat bekerja sama, bukan mengembangkan persaingan. Manusia pada dasarnya
sosial, dan keputusan yang paling besar pada manusia karena ia berkomunikasi
dengan yang lain. Progresivisme berpandangan bahwa kasih sayang dan
persaudaraan lebih berharga bagi pendidikan dari pada persaingan dan usaha
pribadi. Karena itu, pendidikan adalah rekontruksi manusia dalam kehidupan
sosial. Persaingan tidak ditolak, namun persaingan tersebut harus mampu
mendorong pertumbuhan pribadi.
6.
Kehidupan yang
demokratis merupakan kondisi yang diperlukan bagi pertumbuhan. Demokrasi,
pertumbuhan, dan pendidikan saling berhubungan. Untuk mengajar demokrasi,
sekolah sendiri harus demokratis. Sekolah harus menungkatkan “student goverment”, diskusi bebas
tentang suatu masalah, partisipasi penuh dalam semua pengalaman pendidikan.
Namun, sekolah tidak mengindoktrinasi siswa-siswa dengan tata sosial yang
baru.
1.
Anak dan lingkungannya
Anak
berada di dalam lingkungan yang selalu mengalami proses perubahan,
perkembangan. Meskipun anak sebagai bagian integral dari lingkungannya, namun
ia tetap mempunyai identitas sendiri yang berbeda dengan mahluk-mahluk
alamiah yang manapun. Sebab anak memiliki potensi dan kemampuan inteligensi
yang dapat memecahkan problem dalam kehidupannya. Dan proses pendidikan
terutama dipusatkan untuk latihan dan penyempurnaan inteligesi.
2.
Living
as Learning (kehidupan yang real
sebagai proses belajar)
Belajar
sesungguhnya bukan semata-mata terjadi di dalam sekolah, belajar terjadi di
semua kesempatan dan tempat, jadi didalam masyarakat. Justru proses edukatif
harus mampu mengalahkan pengaruh-pengaruh buruk yang ada didalam masyarakat
dengan jalan mengimbangi kondisi masyarakat dengan kondisi-kondisi sekolah.
C.
Pandangan Terhadap Progresivisme
1.
Pandangan
Ontologi
Thesis aliran ini tentang ontologi,
tentang hakekat ekssistensi, realita, tersimpul dalam asas-asas sebagai
berikut:
a.
Asas Herebyb atau Asas Keduniawian
Realita
semesta sebagai kosmos dengan istilah “universe”
berarti eksistensi yang sama luas, tak terbatas. Tetapi realita kosmos
yang demikian sungguh-sungguh realita, bukan dalam arti yang dimaksud oleh
doktrin realita mutlak. Sebab realita kosmos itu adalah kenyataan di mana
kehidupan manusia berada dan berlangsung.
b.
Pengalaman sebagai
realita
Asas
ontologinya yang didasarkan pada pengalaman adalah suatu dalil yang bersumber
dalam teori evolusi. Pengalaman adalah perjuangan, sebab hidup sebenarnya
adalah tindakan-tindakan dan perubahan-perubahan. Dalam proses ini, maka
kesempatan, suatu yang tidak terduga-duga, suatu yang baru, suatu yang tak
teramalkan selalu memegang peranan besar dalam peristiwa-peristiwa kehidupan.
Manusia, sebagaimana juga mahluk-mahluk lain, akan tetap hidup dan berkembang
jika ia mampu mengatasi perjuangan, perubahan ; ia berarti bertindak.
c.
Pikiran (mind) sebagai fungsi manusia yang unik.
Binatang
akan selalu dapat hidup di rimba karena kemampuan kodrati yang dimiliki seperti
kekuatan, daya cium, daya tangkap yang kuat. Demikian pula manusia mampu hidup
karena fungsi-fungsi jiwa yang ia miliki. Menurut progressivisme potensi
inteligensi ini meliputi kemampuan mengingat, imaginasi, menghubung-hubungkan,
merumuskan, melambangkan dan memecahkan persoalan-persoalan serta berkomunikasi
(social dan intelek) dengan seamanya,
Mind adalah suatu integritas didalam
kepribadian, bukan suatu entity tersendiri. Eksistensi dan realita mind
hanyalah didalam aktivitas, dalam tingkah laku. Mind ialah apa yang manusia lakukan. Dan mind pada
prinsipnya adalah yang berperan didalam pengalaman.
2.
Pandangan Epistemologi
a.
Pengetahuan dan
kebenaran
Suatu
ide yang dapat dilaksanakan adalah suatu tujuan atau test atas kebenaran ide
itu. Test ini adalah utuk mengetahui kualitas kebenaran suatu ide dalam arti
sampai di mana ide
itu berguna dan memenuhi harapan untuk
menyesuaikan diri dengan tantangan-tantangan yang ada.
b.
Pengetahuan itu
bersifat pasif
Pengetahuan
ialah perbendaharaan informasi, fakta, hukum-hukum, prinsip-prinsip, proses,
kebiasaan-kebiasaan yang terakumulasi didalam pribadi sebagai hasil proses
antara reksi dan pengalaman-pengalaman.
c.
Kebenaran bersifat
aktif
Kebenaran
dianggap sebagai aktif, karena kebenaran adalah hasil tertentu dari pada
pengetahuan, hasil pemilihan alternative-alternatif dalam proses pemecahan
masalah.
d.
Intelegensi dan
operasionalisme
Intelegensi
dan metode oprasional adalah cirri utama dalam epistemologi progressivisme.
e.
Immediate
dan Mediate Experience
1)
Immediate
– experience
Kita
menbhayati pengalaman ini dalam kesadsaran keseimbangan,. Misalnya dalam
keadaan relax dalam ruang istirahat kita duduk membaca majalah.
2)
Mediate
experience
Misalnya
dalm keadaan relax itu terjadi, tiba-tiba ada telepon bordering. Kabar sedih
kita terima, bahwa sahabat karib kita kecelakaan kendaraan.
3.
Pandangan Aksiologi
a. Approach empiris
Progressivisme
mengapproach masalah nilai secara empiris berdasarkan pengalaman-pengalaman real
didalam kehidupan
manusia.
b. Approach artistik
Pragmatisme,
khususnya Dewey, amat menaruh perhatian pada studi estetika, nilai-nilai
artistik. Sebab, artistik
adalah suatu nilai yang memperkaya ekspresi manusia. Artistik adalah suatu energi pendorong kehidupan
bagi umat manusia. Nilai-nilai artistik member isi dan kedalaman bagi
pengalaman-pengalaman seseorang.
c. Democracy as Value
(demokrasi sebagai nilai)
Bagi
progressivisme, demokrasi ialah suatu pola dan program bagi seluruh scope
kehidupan. Demokrasi ialah suatu perwujudan daripada nilai-nilai fundamental,
sikap dan praktek-praktek. Demokrasi adalah nilai ideal yang wajib dilaksanakan
sepenuhnya dalam semua bidang kehidupan termasuk didalam seni dan keagamaan.
D. Implikasi dalam
Pendidikan
Aliran progresivisme telah memberikan
sumbangan yang besar di dunia saat ini. Aliran ini telah meletakkan dasar-dasar
kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan kebaikan baik
secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat
oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain.
Di dalam sekolah-sekolah progresivisme,
masalah kemerdekaan untuk para siswa ini diutamakan sekali. Mereka di dorong
dan diberanikan untuk memiliki dan bertindak melaksanakan kebebasan mereka.
Mereka diberikan kemerdekaan berinisiatif dan percaya kepada diri sendiri,
sehingga anak dapat berkembang pribadinya dengan wajar dan dapat pula
memperkembangkan pribadinya dengan wajar.
Apabila kita tinjau dari sudut
pragmatisme, maka aliran ini merupakan pelaksana terbesar dari pendidikan
progresivisme. Kenyatan yang demikian itu yang telah dilambangkan dengan
sebutan “progresivisme” merupakan
petunjuk untuk untuk melaksanakan pendidikan yang lebih maju dari
sebelumnya.[13]
Tujuan pendidikan adalah memberikan
keterampilan dan alat-alat yang bermanfaat untuk berinteraksi dengan lingkungan
yang berada dalam proses perubahan secara terus-menerus. Yang dimaksud dengan
alat-alat adalah keterampilan pemecahan masalah (problem solving) yang dapat
digunakan oleh individu untuk menentukan, menganalisis, dan memecahkan masalah.[14]
Serta tujuan pendidikan hendaklah diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman
yang terus menerus. Pendidikan bukanlah hanya menyampaikan pengetahuan kepada peserta
didik saja, melainkan yang terpenting adalah melatih kemampuan berpikir secara
ilmiah.[15]
Kurikulum pendidikan yang dikehendaki
oleh filsafat progrsivisme ialah kurikulum yang bersifat fleksibilitas (tidak
kaku, tidak menolak perubahan, tidak terikat oleh doktrin tertentu), luas dan
terbuka. Dengan berpijak pada prinsip ini, maka kurikulum dapat direvisi dan
dievaluasi setiap saat sesuai dengan kebutuhan setempat. Maka kurikulum yang
edukatif dan eksperimental atau tipe core curriculum dapat memenuhi
tuntutan itu.[16]
Kurikulum dipusatkan pada pengalaman
atau kurikulum eksperimental didasarkan atas manusia dalam hidunya selalu
berinteraksi di dalam lingkungan yang komplek. Kurikulum eksperimental yaitu
kurikulum yang berpusat pada pengalaman, dimana apa yang telah dipelajari anak
didik selama di sekolah akan dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Dengan
metode pendidikan belajar sambil berbuat (learning by doing) dan pemecahan
masalah (problem solving) dengan langkah-langkah menghadapi problem,
mengujikan hipotesa. Oleh karena itu, kurikulum seharusnya menggunakan
pendekatan interdisipliner.
Melalui proses pendidikan dengan
menggunakan kurikulum yang bersifat integrated kurikulum
(masalah-masalah dalam masyarakat disusun terintegrasi) dengan metode
pendidikan belajar sambil berbuat (learning by doing) dan metode problem
solving (pemecahan masalah)
diharapkan anak didik menjadi maju (progress) mempunyai kecakapan
praktis dan dapat memecahkan problem sosial sehari-hari dengan baik.[17]
E.
Kritik Untuk Progressivisme
Tidak dapat
dipungkiri progressivisme dapat melahirkan model pendidikan yang lebih peka
terhadap kemajuan laju jaman. Progressivisme juga dapat menjawab beberapa
persoalan dalam pendidikan (problem
solving) sehingga pendidikan dapat berkembang sedikit lebih maju
dibandingkan dengan pendidikan sebelumnya. Kurikulum yang berfilosofikan
progressivisme lebih berani dalam
menyampaikan pengetahuan, sehingga pendidikan tampil dengan wajah yang lebih
berwarna.
Pendidikan yang
lebih maju (progress) yang berasaskan
progressivisme bukan berarti tidak membawa dampak negative dalam pendidikan.
Dampak nyata yang jelas-jelas dapat dilihat dan juga dirasakan dalam pendidikan
progressivisme antara lain adalah : hadirnya sifat dan juga sikap individualism
yang banyak ditemukan dalam masyarakat industry ataupun masyarakat perkotaan,
rendahnya pengaruh guru / pembimbing dikarenakan guru / pembimbing dianggap
sebagai fasilitator saja sehingga rasa hormat kepada guru berangsur-angsur
luntur, menjadikan banyak siswa sebagai peserta didik perlahan-lahan
meninggalkan warisan social / sejarah yang pernah ada.
Beberapa hal
tersebut diatas dikarenakan progressivisme menekankan sisi pragmatis ataupun
serba instan dan cepat saji, sehingga kurang memperhatikan norma yang ada. Yang
mengakibatkan transfer of value dalam
progressivisme hanya mementingkan sisi-sisi yang pragmatis serta serba instan
dalam memecahkan masalah.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Progresivisme mempunyai konsep yang
didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai
kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat meghadapi masalah yang menekan atau
mengecam adanya manusia itu sendiri. Aliran
progesivisme mengakui dan mengembangkan asas progresivisme dalam semua
realitas, terutama dalam kehidupan adalah tetap survive terhadap semua
rintangan hidup manusia, harus praktis dalam melihat segala sesuatu dari segi
keagungannya. Berhubungan dengan itu progresivisme kurang menyetujui adanya
pendidikan yang bercorak otoriter, baik yang timbul pada zaman dahulu maupun
pada zaman sekarang.
Aliran progresivisme telah memberikan
sumbangan yang besar di dunia saat ini. Aliran ini telah meletakkan dasar-dasar
kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan kebaikan baik
secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat
oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain.
B. Saran
Dalam kaitannya dengan pendidikn saat
ini, masih sering kita jumpai, dibeberapa sekolah yang masih memandang anak
didik sebagai objek pendidikan, dan masih menerapkan prinsip otoriter ddalam
pelaksanaan pendidikannya.
Oleh karena itu, seorang pendidik selain
memandang anak didik sebagai objek pendidikan, tetapi juga sebaiknya memandang
anak didik sebagai objek pendidikan yang mempunyai kompetensi dalam dirinya
dalam rangka untuk mengembangkan potensi yang dia miliki.
DAFTAR PUSTAKA
Ali,
H. B. Hamdani. 1987. Filsafat
Pendidikan. Yogyakarta: Kota Kembang.
Barnadib,
Imam. 1996. Dasar-dasar Kependidikan.
Ghalia Indonesia.
Barnadib, Imam. 1998. Filsafat Pendidikan:
Sistem dan Metode. Yoyakarta: Andi Offset.
Idi, Abdullah. Jalaluddin. 1997. Filsafat Pendidikan.
Jakarta: Gaya Median Pranata.
Indar, H. M. Jumberansyah. 1994. Filsafat Pendidikan.
Surbaya: Karya Abditama.
R.
Knight, George. 2007. Filsafat
Pendidikan. Yogyakarta: Gama Media.
Sad
Iman, Muis. 2004. Pendidikan
Partisipatif. Yogyakarta: Safiria Insani Press.
Sadullah,Uyohh.
2007. Pengantar Filsafat Pendidikan.
Bandung: Alfabe.
Syam, Mohammad
Noor. 1980. Filsafat
Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila. Jakarta: Erlangga.
[5] Mohammad Noor Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat
Kependidikan Pancasila,(Jakarta: Erlangga, 1980), hal. 225.
[10] Imam Barnadib,
Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode, (Yoyakarta: Andi Offset, 1988),
hal. 36-37.
[11] Uyoh Sadullah, Op Cit, hal.148-150.
[13] H. B. Hamdani Ali, Filsafat
Pendidikan, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1987), hal. 146.
[15] Ibid,
hal. 77.
[17] Ibid,
hal. 80.
Langganan:
Postingan (Atom)