Jumat, 05 Desember 2014


Minggu, 18 September 2011


ALIRAN REKONSTRUKSIONISME


PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah
Aliran rekonstruksionisme merupakan aliran dalam filsafat pendidikan yang berawal dari adanya krisis kebudayaan modern yang dipelopori oleh tokoh bernama George Count dan Harold pada tahun 1930-an. Aliran rekonstruksionisme merupakan aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dalam pendidikan dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.
Dasar pemikiran aliran rekonstruksionisme tidak terlepas dari pemikiran-pemikiran pada aliran perenialisme dan progresifisme. Aliran rekonstruksionisme muncul sebagai reaksi dari adanya pemahaman dalam aliran perenialisme maupun aliran progresivisme, sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan, karena upaya aliran rekonstruksionisme dalam mengembangkan pendidikan diawali oleh keprihatinan para rekonstruksionis terhadap kehidupan manusia modern atau dengan kata lain menyebutkan adanya krisis kebudayaan modern. Aliran rekonstruksionisme merupakan salah satu aliran yang menganggap telah terjadi kegagalan dalam pendidikan dunia modern (progresif). Maka, aliran rekonstruksionisme berupaya melakukan sebuah perombakan tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern serta membina suatu konsensus yang paling luas dan mungkin mengenai tujuan pokok tertinggi dalam kehidupan manusia. (Depag RI, 1984: 31). Mereka bermaksud ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang dipandang pantas dan adil dengan rekonstruksi-rekonstruksi yang ditawarkannya.[1] Lantas, apa dan bagaimana upaya yang dapat dilakukan oleh aliran rekonstruksionisme untuk dapat memperbaiki sistem pendidikan supaya tidak terkungkung dalam sebuah pendidikan yang amat tradisional dan tidak dapat menyesuaikan perkembangan zaman, akan tetapi juga tidak terjebak oleh pemahaman tentang pendidikan yang pragmatis?
Pendidikan pada hakekatnya merupakan sebuah formula yang memiliki fungsi untuk dapat mengubah dunia menjadi dunia yang benar-benar semakin berperadaban, karena inti dari sebuah pendidikan adalah proses pengubahan dari yang sebelumnya belum baik menjadi baik, dan yang sebelumnya sudah baik menjadi semakin baik lagi. Pendidikan bukan hanya sekedar pentransferan pengetahuan oleh seorang pendidik kepada peserta didiknya. Pendidikan adalah upaya menyusun kembali komponen-komponen pendukung dari kognisi manusia, afeksi manusia, maupun psikomotor manusia secara seimbang. Di dalam pendidikan ketiga komponen tersebut tidak dapat dipisahkan, sebab jika dipisahkan, akan terjadi sebuah ketimpangan bagi peserta didik nantinya, terutama saat terjun langsung dalam masyarakat.
Menilik dari pentingnya peran pendidikan, maka seharusnya pendidikan mampu dijadikan sebagai perombak sistem kehidupan masyarakat untuk dapat menjadi manusia yang semakin berkemajuan. Akan tetapi, pada kenyataannya pendidikan pada abad-abad terakhir ini tidak lagi dapat dijadikan sebagai perombak bagi kehidupan manusia untuk menjadi lebih baik. Yang ada justru fenomena sebaliknya, manusia yang dalam proses belajarnya lebih banyak ditekankan pada kemampuan kognisi, justru diperbudak oleh pendidikan itu yang akhirnya hanya ditujukan untuk memperoleh pekerjaan yang berujung pada uang, bukan perolehan pengetahuan dan pemahaman, sehingga terjebak dalam pemaknaan hidup yang pragmatis. Pendidikan telah diselenggarakan dengan cara dan pemikiran yang salah. Pendidikan yang ada selama ini bukannya menunjukkan sebuah perkembangan yang baik, akan tetapi justru sebaliknya menjadi bertambah buruk. Dunia bahkan mengalami sesuatu yang disebut dengan situasi krisis yang sekarat.[2] Virus kapitalisasi sungguh telah menjangkiti setiap jiwa manusia. Dari situlah, maka timbullah berbagai krisis, baik krisis yang terjadi di negara sendiri, yaitu Indonesia, hingga krisis dunia yang semakin tidak terkendalikan.
Dalam dunia pendidikan, yang tengah menjadi sebuah permasalahan paling rumit saat ini adalah pemahaman dari makna pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang memiliki makna perubahan manusia menjadi lebih baik telah beralih wujud menjadi sebuah sistem yang senantiasa menyuguhkan materi-materi dengan berbagai kompetensi yang dituntut untuk dituntaskan pembelajarannya, tanpa adanya sebuah pemaknaan khusus akan manfaat dan hikmah dari setiap ilmu yang diajarkan. Dengan pemaknaan pendidikan yang demikian, maka output-output yang ada hanya akan menjadi seseorang yang diibaratkan sebuah robot yang dikendalikan oleh mesin-mesin, yang siap diperbudak oleh tuannya yaitu berupa hawa nafsu. Hal tersebut mengakibatkan manusia kini menjadi kehilangan jiwa sosial mereka. Maka, diambil dari pemikiran aliran rekonstruksionisme dalam pendidikan ini adalah sebagai upaya untuk merombak sistem pendidikan, terutama sistem pendidikan nasional, dengan tujuan agar para peserta didik dalam menuntut ilmu kelak akan menjadi kaum intelektual yang dapat mengembangkan peradaban dunia menjadi dunia yang semakin berkemajuan dan juga beradab, sehingga dunia akan dapat bangkit dari keterpurukan akibat krisis yang berkepanjangan, terutama krisis moral yang menjadi faktor utama dari krisis-krisis yang lainnya.

Rumusan Masalah
            Dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan di muka, maka diambil topik pembahasan yang dirumuskan dalam rumusan masalah sebagai berikut:
  1. Apa pengertian dan sejarah munculnya aliran rekonstruksionisme?
  2. Bagaimana prinsip-prinsip pemikiran aliran rekonstruksionisme?
  3. Bagaimana pandangan-pandangan yang ada dalam aliran rekonstruksionisme?
  4. Bagaimana teori pendidikan dalam rekonstruksionisme?
  5. Bagaimana implikasi aliran rekonstruksionisme dalam pemecahan masalah Pendidikan?


Tujuan Pembahasan
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari pembahasan dalam makalah ini antara lain adalah sebagai berikut:
  1. Untuk mengetahui pengertian dan sejarah munculnya aliran rekonstruksionisme dalam filsafat pendidikan.
  2. Untuk mengetahui prinsip-prinsip pemikiran aliran rekonstruksionisme dalam filsafat pendidikan.
  3. Untuk mengetahui pandangan-pandangan yang ada dalam aliran rekonstruksionisme.
  4. Untuk mengetahui teori pendidikan dalam rekonstruksionisme.
  5. Untuk mengetahui implikasi aliran rekonstruksionisme dalam pemecahan masalah pendidikan.
           
Manfaat Pembahasan
Dengan dibahasnya makalah tentang aliran rekonstruksionisme, maka akan menambah pengetahuan tentang aliran rekonstruksionisme dalam filsafat pendidikan bagi para pembaca, dan bagi penulis sendiri khususnya, sehingga akan didapatkan pengetahuan baru tentang implikasi aliran rekonstruksionisme dalam pemecahan masalah penidikan, serta upaya perombakan tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.










PEMBAHASAN

A.           Pengertian dan Latar Belakang Munculnya Aliran Rekonstruksionisme
1.             Pengertian Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme berasal dari kata reconstruct, yaitu gabungan dari kata re-  yang artinya kembali dan construct yang artinya membangun atau menyusun. Maka, secara etimologis reconstruct diartikan menyusun kembali. Sedangkan, dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dalam pendidikan dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.[3] Aliran ini dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930.
Pada prinsipnya, aliran rekonstruksionisme banyak yang sepaham dengan aliran perenialisme, yang dikhususkan kepada keprihatinan para rekonstruksionis terhadap kehidupan manusia modern atau dengan kata lain menyebutkan adanya krisis kebudayaan modern. Kedua aliran tersebut berpandangan bahwa kehidupan manusia modern telah banyak mengalami kebobrokan, kerusakan, kebingungan, dan tidak menentunya prinsip manusia, sehingga manusia modern sudah banyak kehilangan jati diri mereka. Bedanya kedua aliran ini, jika aliran perenialisme berpandangan bahwa kebobrokan kehidupan manusia modern dapat diatasi dengan cara kembali ke dalam kehidupan yang masih menjunjung tinggi kebudayaan dan peradaban masa lampau, karena kaum perenialis berpandangan bahwa pola perkembangan kebudayaan sepanjang zaman adalah sebagai pengulangan dari apa yang ada dalam masa sebelumnya, sehingga perenialisme sering disebut juga dengan istilah tradisionalisme. Sementara, aliran rekonstruksionisme berusaha membina konsensus yang paling luas dan mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia.
Dari jalan pikiran dan upaya yang berusaha ditempuh oleh aliran rekonstruksionisme, maka dapat dilihat juga bahwa aliran ini tidak terlepas dari prinsip pemikiran aliran progresifisme yang mengarah kepada tuntutan kehidupan modern. Hal tersebut sesuai dengan pandangan Count bahwa apa yang diperlukan pada masyarakat yang memiliki perkembangan teknologi yang cepat adalah rekonstruksi masyarakat dan pembentukan serta perubahan tata dunia baru.
2.             Latar Belakang Kemunculan Aliran Filsafat Rekonstruksionisme
Jauh pada tahun 1930-an, dunia mengalami krisis yang sangat hebat, yaitu krisis ekonomi yang tidak hentinya terus merongrong perekonomian dunia. Sistem ekonomi kapitalis telah meningkatkan sikap egosentris masyarakat dunia. Masa krisis dunia bukan hanya terjadi pada era modern seperti saat ini, yang tengah gencarnya menghantui setiap penjuru dunia. Tidak ubahnya dengan sebuah politik, dalam ekonomi kapitalis tidak lagi mengenal siapa teman sejati dan siapa musuh yang sejati. Sistem kapitalis telah menumbuhkan sikap kesombongan negara-negara yang merasa memiliki sistem perekonomian di atas atau yang disebut dengan negara-negara maju. Kesombongan-kesombongan itu antara lain adalah kesombongan sikap dari sebuah negara yang notabene dianggap sebagai polisi dunia  yaitu Amerika Serikat. Amerika merasa sanggup hidup dengan perekonomian sendiri, hingga akhirnya defisit perdagangan Amerika mulai terasa sejak menjadi elemen penting ekonomi dunia pada awal abad ke-17. Antara tahun 1990 sampai tahun 2000 defisit perdagangan Amerika dari 100 miliar naik menjadi 450 miliar.[4] Krisis yang terjadi di Amerika tersebut secara otomatis juga telah menjadi krisis bagi dunia. Sedangkan krisis yang terjadi pada tahun 1930-an pada saat itu juga merupakan sebuah krisis ekonomi dunia yang menyebabkan terjadinya depresi dunia sehingga menyebabkan lumpuhnya bangsa-bangsa kapitalis secara ekonomi. Adanya krisis ini akhirnya berdampak pula kepada pendidikan. Krisis inilah yang melatarbelakangi munculnya aliran rekonstruksionisme yang bertujuan untuk dapat berusaha merombak tata susunan lama dalam pendidikan dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.
3.             Tokoh-tokoh Aliran Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, yang memiliki keinginan yaitu ingin membangun masyarakat yang baru, masyarakat yang pantas dan adil. Beberapa tokoh dalam aliran ini antara lain adalah Caroline Pratt, George Count, Harold Rugg.
George Counts adalah seorang tokoh aliran rekonstruksionisme yang memulai masuk sekolah pascasarjana di University of Chicago pada tahun 1913. Pada saat ini Sekolah Pendidikan dipengaruhi oleh John Dewey dan Francis W. Parker. Pendidik bertekad untuk mengembangkan suatu rencana bagi ilmu pendidikan. Charles Hubbard Judd adalah salah satu pemimpin rencana ini. George Counts adalah murid Charles Hubbard Judd.  George Counts selesai doktor di bidang pendidikan pada tahun 1916 dan juga belajar sosiologi di bawah Albion W. Small. Pengalamannya dalam sosiologi membuatnya berkonsentrasi pada dimensi sosiologis penelitian pendidikan.
Hasil karya George Counts berupa tulisannya tentang "Prinsip Pendidikan" dengan J. Crosby Chapman. Itu adalah gambaran filosofis, psikologis, dan metodologis American Pendidikan (Gutek, 250). Prinsip-prinsip Pendidikan tahun 1924 disukai filsafat John Dewey. Dalam Counts tahun 1920-an bersama dalam gerakan-anak berpusat dalam pendidikan progresif. Selain itu, George Counts juga menulis "Berani Build Sekolah Sosial Orde Baru?" yang merupakan pamflet yang terdiri dari tiga makalah yang dibaca pada bulan Februari 1932 di pertemuan pendidikan nasional. Satu kertas dibaca sebelum Progressive Education Association di Baltimore, lain kertas sebelum sebuah divisi dari Departemen pengawasan di Washington, dan kertas lain sebelum Dewan Nasional Pendidikan di Washington. Judul dari tiga makalah adalah: Dare Jadilah Pendidikan Progresif Progressive; Pendidikan Melalui indoktrinasi, dan Kebebasan, Budaya, Sosial Perencanaan, dan Kepemimpinan. George Counts ingin para guru untuk memimpin masyarakat bukannya mengikuti masyarakat. Para guru adalah pemimpin dan harus membuat kebijakan yang bisa memutuskan antara tujuan dan nilai-nilai yang saling bertentangan. Guru harus peduli dengan urusan sekolah, tetapi juga harus peduli dengan masalah-masalah kontroversial ekonomi, politik, dan moralitas.[5]
Tokoh kedua dalam aliran rekonstruksionisme adalah Caroline Pratt. Caroline Pratt dilahirkan di Lound, Nottinghamshire, 23 Juni 1962, dan meninggal di Peterborough, Cambridgeshire 4 September 2004. Dia adalah salah satu dari 14 elite performance riders di Inggris, akan tetapi dia terbunuh pada suatu kompetisi di Burghley Horse Trials pada 4 September 2004. Dia merancang unit blok yang menjadi bahan dasar di sekolah-sekolah di seluruh Amerika Serikat. Blok unit standarnya adalah bentuk yang sama seperti blok dari Froebel Hadiah keempat berdasarkan proporsi 1:2:4. Blok lainnya berasal dari blok standar, beberapa orang lain yang lebih kecil dan lebih besar seperti yang dijelaskan oleh Froebel dalam Pendidikan Manusia 1826. Unit blok harus kokoh dan akurat dipotong sehingga anak-anak dapat melakukan sebuah penciptaan, pemecahkan masalah, dan tantangan sendiri. Caroline Pratt merupakan seorang guru muda yang inovatif. Caroline Pratt mengungkapkan ide-ide dari Friedrich Froebel tentang sesuatu yang dapat memberikan anak-anak kesempatan untuk mewakili dunia mereka.[6]
Selanjutnya, tokoh aliran rekonstruksionisme yang ketiga adalah Harold Rugg. Dia adalah seorang guru, insinyur, sejarawan, ahli teori pendidikan, dan mahasiswa psikologi dan sosiologi. Harold Rugg (1886-1960) adalah salah satu pendidik yang paling serbaguna yang terkait dengan gerakan pendidikan progresif. Harold Rugg Ordway, anak Edward dan Merion Abbie (Davidson) Rugg, lahir di Fitchburg, Massachusetts, pada tanggal 17 Januari 1886. Ayahnya adalah seorang tukang kayu. Harold Rugg Ordway memiliki banyak pengalaman kerja, karena dia adalah seseorang yang sangat gigih dalam hidupnya. Di Dartmouth dia menerima gelar B.S. gelar pada tahun 1908 dan gelar sarjana di bidang teknik sipil pada 1909. Pada tahun 1911 ia memasuki Universitas Illinois, tempat ia mengajar teknik dan melakukan pekerjaan lulusan di bidang pendidikan dan sosiologi di bawah arahan William C. Bagley. Pada tanggal 4 September 1912, Rugg menikah Bertha Miller, mereka mengadopsi dua anak. Rugg menikah sampai tiga kali, tetapi dua perkawinannya berakhir dengan perceraian. Rugg menyelesaikan Ph.D. program pada tahun 1915 dan pada musim gugur tahun itu pindah ke Universitas Chicago, tempat ia mengajar dan melakukan penelitian di bidang statistik administrasi dan pendidikan di bawah Charles H. Judd.
Banyak ide-ide novel Rugg's tentang pengembangan kurikulum yang diterapkan di seri sosialnya 14-volume studi buku, diterbitkan dengan judul umum "Nya Mengubah Manusia dan Masyarakat" antara 1929 dan 1940. Upaya Rugg untuk memberikan pernyataan yang akurat tentang kekuatan dan kelemahan masyarakat Amerika dalam buku pelajaran membawakan tingkat ketenaran yang jarang diduplikasi di kalangan akademisi. Meskipun buku hangat diterima dan banyak dibaca ketika mereka pertama kali muncul, sering dianggap subversif di beberapa kalangan konservatif dan sebagai hasilnya akhirnya dijatuhkan oleh sebagian besar kabupaten sekolah yang menggunakannya. Kontroversi atas buku Rugg menyebabkan salah satu kasus stormiest dan paling sensasional sensor buku teks dalam sejarah pendidikan Amerika. Hal ini masih merupakan studi kasus yang sangat instruktif. Ruug juga menjabat sebagai psikolog pendidikan di Sekolah Lincoln eksperimental. Pada tahun 1934 ia membantu mengorganisasi The Frontier Sosial, sebuah jurnal sangat dihargai untuk analisis sosial dan pendidikan dari sudut pandang liberal. Ia juga melayani selama lebih dari satu dekade sebagai editor studi sosial Senior Scholastic dan selama 11 tahun sebagai editor Journal of Psikologi Pendidikan. Pada berbagai waktu dalam karirnya ia adalah seorang konsultan pendidikan atau dosen tamu di Timur Tengah, Timur Jauh, Eropa Barat, Afrika Selatan, Australia, dan Selandia Baru. Selain itu, ia datang untuk secara umum diakui sebagai delegasi tidak resmi dari American Progresif Asosiasi Pendidikan untuk Pendidikan Baru internasional Fellowship.[7]

B.            Prinsip-Prinsip Pemikiran dalam Aliran Rekonstruksionisme
1.             Masyarakat dunia sedang dalam kondisi krisis
Krisis dunia yang sedang dialami saat ini antara lain persoalan-persoalan tentang kependudukan, sumber daya alam yang terbatas, kesenjangan global dalam distribusi (penyebaran) kekayaan, prolefirasi nuklir, rasisme, nasionalisme sempit, dan pengunaan teknologi yang ‘sembrono’ dan tidak bertanggung jawab. Jika praktik-praktik yang ada sekarang tidak dibalik (diubah secara mendasar), maka peradaban yang kita kenal ini akan mengalami kehancuran jika tidak dikoreksi sesegera mungkin.
Persoalan-persoalan tadi, menurut kalangan rekonstruksionis, berjalan seiring dengan tantangan totalitarianisme modern, (yakni) hilangnya nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat luas dan meningkatnya ‘kedunguan’ fungsional penduduk dunia. Persoalan-persoalan yang dihadapi dunia sudah sedemikian beratnya sehingga tidak bisa lagi diabaikan.
2.             Solusi efektif satu-satunya persoalan-persoalan dunia kita adalah penciptaan tatanan sosial yang menjagat.
Mengingat persoalan-persoalannya bersifat mendunia, maka solusinyapun harus demikian. Kerjasama menyeluruh dari semua bangsa adalah satu-satunya harapan bagi penduduk dunia yang berkembang terus yang menghuni dunia dengan segala keterbatasan sumber daya alamnya. Era teknologi telah memunculkan saling ketergantungan dunia, di samping juga kemajuan-kemajuan di bidang sains. Di sisi lain, kita sedang didera kesenjangan budaya dalam beradaptasi dengan tatanan dunia baru. Kita sedang berupaya hidup di ruang angkasa dengan sebuah sistem nilai dan mentalis politik yang dianut di era kuda dan andong.
3.             Pendidikan formal dapat menjadi agen utama dalam rekonstruksi tatanan sosial.
Sekolah-sekolah yang mereflesikan nilai-nilai sosial dominan, tutur rekonstruksionis, hanya akan mengalihkan penyakit-penyakit politik, sosial, dan ekonomi yang sekarang mendera umat manusia. Sekolah dapat dan harus mengubah secara mendasar peran tradisionalnya dan menjadi sumber inovasi sosial. Tugas mengubah peran pendidikan amatlah urgen, karena kenyataan bahwa manusia sekarang mempunyai kemampuan memusnahkan diri.
Kritik-kritik rekonstruksi sosial menandakan bahwa Brameld dan kolega-koleganya memberikan kepercayaan yang sangat besar terhadap kekuatan guru dan pendidik lainnya untuk bertindak sebagai intrumen utama perubahan sosial. Komentar kalangan rekonstruksionis bahwa satu-satunya alternatif bagi rekonstruksi sosial adalah kekacauan global dan kemusnahan menyeluruh peradaban dunia. Dari perspektif mereka, pendidikan dapat menjadi instrumen untuk mengaburkan tuntutan mendesak transformasi sosial dan kemudian merintangi perubahan, atau instrumen untuk membentuk kenyakinan masyarakat dan mengarahkan peralihannya ke masa depan.
4.             Metode-metode pengajaran
Metode-metode pengajaran harus didasarkan pada prinsip-prinsip demokratis yang bertumpu pada kecerdasan ‘asali’ jumlah mayoritas untuk merenungkan dan menawarkan solusi yang paling valid bagi persoalan-persoalan umat manusia.
Kalangan rekonstruksionis, seperti aliran-aliran gerakan progresif lainnya, tidaklah tunggal dalam pandangan mereka tentang demokrasi sebagai sistem politik terbaik. Dari perspektif mereka adalah sebuah keharusan bahwa prosedur-prosedur demokratis perlu digunakan di ruangan kelas setelah para peserta didik diarahkan kepada kesempatan-kesempatan untuk memilih diantara keragaman pilihan-pilihan ekonomi, politik, dan sosial.
5.             Jika pendidikan formal adalah bagian tidak terpisahkan dari solusi sosial dalam krisis dunia sekarang, maka ia harus secara aktif mengajarkan perubahan sosial.
Pendidikan harus memunculkan kesadaran peserta didik akan persoalan-persoalan sosial dan mendorong mereka untuk secara aktif memberiakan solusi. Kesadaran sosial kiranya dapat ditumbuhkan jika peserta didik dibuat berani untuk mempertanyakan status quo dan untuk mengkaji isu-isu kontroversial dalam agama, masyarakat, ekonomi, politik dan pendidikan. Kajian dan diskusi kritis akan membantu peserta didik melihat ketidakadilan dan ketidakfungsian beberapa aspek sistem sekarang ini dan akan membantu mereka mengembangkan alternatif-alternatif bagi kebijaksanaan konvensional.
Ilmu-ilmu sosial, semisal antropologi, ekonomi, sosiologi, sain politik, dan psikologi merupakan landasan kurikuler yang amat membantu kalangan rekonstruksionis untuk mengidentifikasi lingkup persoalan utama kontroversi, konflik dan inkonsistensi. Peran pendidikan adalah mengungkapkan lingkup persoalan budaya manusia dan membangun kesepakatan seluas mungkin tujuan-tujuan pokok yang akan menata umat manusia dalam tatanan budaya dunia. Masyarakat dunia yang ideal, menurut rekonstrusionisme, haruslah “berada di bawah kontrol mayoritas warga masyarakat yang secara benar menguasai dan menentukan  nasib mereka sendiri”.

C.           Pandangan-Pandangan dalam Aliran Rekonstruksionisme
a.              Pandangan Ontologi
Dengan ontologi, dapat diterangkan tentang bagaimana hakikat dari segala sesuatu. Aliran rekonstruksionisme memandang bahwa realita bersifat universal, realita itu ada dan sama di setiap tempat. Untuk mengerti suatu realita beranjak dari sesuatu yang konkrit dan menuju ke arah yang khusus menampakkan diri dalam perwujudan, sebagaimana kita lihat di hadapan kita dan ditangkap oleh panca indra manusia, serta realita yang kita ketahui dan hadapi tidak terlepas dari suatu sistem, selain substansi yang dipunyai dari tiap-tiap benda, dan dapat dipilih melalui akal pikiran.
Kemudian, tiap realita sebagai substansi selalu cenderung bergerak dan berkembang dari potensilitas menuju aktualitas (teknologi). Dengan demikian gerakan tersebut mencakup tujuan dan terarah guna mencapai tujuan masing-masing dengan caranya sendiri dan diakui bahwa setiap relita memiliki perpektif tersendiri.
Pada prinsipnya, aliran rekonstruksionisme memandang alam metafisika merujuk dualisme, yang menurut Bakry[8], aliran ini berpendirian bahwa alam nyata mengandung dua macam hakikat sebagai asal sumber yakni hakikat materi dan hakikat rohani. Descartes pernah menyatakan bahwa umumnya manusia tidah sulit menerima prinsip dualisme, yang menunjukkan bahwa kenyataan lahir  dapat segera ditangkap panca indra manusia, sementara itu kenyataan batin segera diakui dengan adanya akal dan perasaan hidup. Dibalik gerak realita sesungguhnya terdapat kausalitas sebagai pendorong dan merupakan penyebab utama atas kausa prima, yang dalam konteks ini ialah Tuhan sebagai penggerak sesuatu tanpa gerak. Tuhan adalah aktualitas murni yang sunyi dan substansi.
Menurut Syam[9], alam pemikiran yang demikian bertolak dari gerakan intelektualitas pada abad pertengahan yang mencapai kristalisasi paa abad IX-XIV, memberikan argumentasi rasio tentang eksistensi tuhan. Alselpus, seorang tokoh utama sholastik, menyatakan bahwa secara kritis realita semesta dapat dipahami dan tidak ada sesuatu di alam nyata ini di luar kekuasaan Tuhan karena semua itu sebagai perwujudan dari kesempurnaannya. Dalam perkembangan selanjutnya, penafsiran yang demikian didukung oleh Thomas Aqiunes yang inti pembicaraannya untuk mengetahui realita yang ada yang harus berdasarkan iman dan perkembangan rasional hanya dapat dijawab dan mesti diikuti dengan iman.
b.             Pandangan Epistemologi
Kajian epistimologi aliran ini lebih merujuk pada pendapat aliran pragmatisme (progressive) dan perenialisme. Berpijak dari pola pemikiran bahwa untuk memahami realita alam nyata memerlukan suatu azas tahu dalam arti bahwa tidak mungkin memahami realita ini tanpa melalui proses pengalaman dan hubungan dengan realita terlebih dahulu melalui penemuan suatu pintu gerbang ilmu pengetahuan. Karenanya, baik indra maupun rasio sama-sama berfungsi membentuk pengetahuan, dan akal dibawa oleh panca indera menjadi pengetahuan dalam yang sesungguhnya.
Aliran ini juga berpendapat bahwa dasar dari suatu kebenaran dapat dibuktikan dengan self evidence, yakni bukti yang ada pada diri sendiri, realita dan eksestensinya. Pemahamannya bahwa pengetahuan yang benar buktinya ada di dalam pengetahuan ilmu itu sendiri. Sebagai ilustrasi, adanya Tuhan tidak perlu dibuktikan dengan bukti-bukti lain atas eksitensi tuhan (self evidence). Kajian tentang kebenaran itu diperlukan suatu pemikiran, metode yang diperlukan guna menuntun agar sampai kepada pemikiran yang hakiki. Penalaran-penalaran memiliki hukum-hukum tersendiri agar dijadikan pegangan ke arah penemuan definisi atau pengertian yang logis.
Ajaran yang dijadikan pedoman berasal dari Aristoteles yang membicarakan dua hal pokok, yakni pikiran (ratio) dan bukti (evidence), dengan jalan pemikirannya adalah silogisme. Silogisme menunjukkan hubungan logis antara premis mayor, premis minor dan kesimpulan (conclution), dengan memakai cara pengambilan kesimpulan deduktif dan induktif.[10]
Pandangan ilmu dan filsafat tetap diakui urgensinya, dikarenakan analisa empiris dan analisa ontologism keduanya dapat dianggap komplementif, tetapi filsafat tetap dapat berdiri sendiri dan ditentukan oleh hukum-hukum dalam filsafat itu sediri tanpa bergantung pada ilmu pengetahuan. Namun demikian, meskipun filsafat dan ilmu berkembang kea rah yang lebih sempurna, tetap disetujui bahwa kedudukan filsafat lebih tinggi dibandingkan ilmu pengetahuan.
c.              Pandangan Ontologis
Dalam proses interaksi sesama manusia, diperlukan nilai-nilai. Begitu juga halnya dalam hubungan manusia dengan sesamanya dan alam semesta tidak mungkin melakukan sikap netral, akan tetapi manusia sadar ataupun tidak sadar telah melakukan proses penilaian, yang merupakan kecenderungan manusia. Tetapi secara umum ruang lingkup (scope) tentang pengertian “nilai” tidak terbatas.
Barnadib mengungkapkan bahwa aliran rekonstruksionisme memandang masalah nilai berdasarkan azas-azas supernatural yakni menerima nilai natural yang universal, yang abadi berdasarkan prinsip nilai teologis.[11] Hakikat manusia adalah emanasi (pancaran) yang potensial yang berasal dari dan dipimpin oleh tuhan dan atas dasar inilah tinjauan tentang kebenaran dan keburukan dapat diketahuinya. Kemudian manusia sebagai subyek telah memiliki potensi-potensi kebaikan dan keburukan sesuai dengan kodratnya. Kebaikan itu akan tetap tinggi nilainya bila tidak dikuasai oleh hawa nafsu belaka, karena itu akal mempunyai peran untuk memberi penentuan.
Neo-thomisme memandang bahwa etika, estetika dan politik sebagai cabang dari filsafat praktis, dalam pengertian tetap berhubungan dan berdasarkan pada prinsip-prinsip dari praktek-praktek dalam tindakan-tindakan moral, kreasi estetika dan organisasi politik. Karenanya, dalam arti teologis manusia perlu mencapai kebaikan tertinggi, yakni bersatu dengan tuhan, kemudian berfikir rasional. Dalam kaitannya dengan estetika (keindahan), hakikat sesungguhnya adalah tuhan sendiri. Keindahan yang maujud itu hanyalah keindahan khusus, pancaran unsur keindahan universal yang abadi.
Aristoteles memandang bahwa kebajikan dibedakan menjadi dua macam, yakni kebajikan intelektual dan kebajikan moal, kebajikan moral merupakan suatu kebajikan berdasarkan pembiasaan dan merupakan dasar dari kebajiakan intelektual.[12]

D.           Teori Pendidikan Rekonstruksionisme
Menurut Brameld (kneller,1971) teori pendidikan rekonstruksionisme ada 5 yaitu:[13]
1)             Pendidikan harus di laksanakan di sini dan sekarang dalam rangka menciptakan tata sosial baru yang akan mengisi nilai-nilai dasar budaya kita, dan selaras dengan yang mendasari kekuatan-kekuatan ekonomi, dan sosial masyarakat modern.
2)             Masyarakat baru harus berada dalam kehidupan demokrasi sejati dimana sumber dan lembaga utama dalam masyarakat dikontrol oleh warganya sendiri.
3)             Anak, sekolah, dan pendidikan itu sendiri dikondisikan oleh kekuatan budaya dan sosial.
4)             Guru harus menyakini terhadap validitas dan urgensi dirinnya dengan cara bijaksana dengan cara memperhatikan prosedur yang demokratis
5)             Cara dan tujuan pendidikan harus diubah kembali seluruhnya dengan tujuan untuk menemukan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan krisis budaya dewasa ini, dan untuk menyesuaikan kebutuhan dengan sains sosial yang mendorong kita untuk menemukan nilali-nilai dimana manusia percaya atau tidak bahwa nilai-nilai itu bersifat universal. Meninjau kembali penyusunan kurikulum, isi pelajaran, metode yang dipakai, struktur administrasi, dan cara bagaimana guru dilatih.


E.            Implikasi Aliran Filsafat Rekonstruksionisme dalam Pemecahan Masalah Pendidikan
Aliran rekonstruksionisme melihat adanya krisis atau masalah yang sangat kronis dan mengakhawatirkan terutama dalam persoalan pendidian dalam dunia modern saat ini. Pendidikan pada masa modern telah banyak mengalami pergeseran makna. Pergeseran makna tersebut telah menimbulkan kehidupan modern yang penuh dengan kebobrokan, kerusakan, kebingungan, dan tidak menentunya prinsip manusia, sehingga manusia modern sudah banyak kehilangan jati diri mereka. Aliran rekonstruksionisme menganggap telah terjadi kegagalan dalam sistem pendidikan modern dan mengalami kegagalan dalam pendidikan dunia modern (progresif). Sistem pendidikan modern telah banyak terjebak dalam pendidikan yang bersifat pragmatis. Maka, dari pemikiran-pemikiran para rekonstruksionis dapat diimplikasikan untuk mengatasi permasalahan-permaslahan pendidikan modern yang bersifat progresif. Adapun implikasinya dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1.             Rekonstruksionisme Sebagai Perombak Sistem Pendidikan
Rekonstruksionisme sebagai perombak sistem pendidikan dapat diklasifikasi dalam beberapa tinjauan pokok, antara lain sebagai perombak sistem pendidikan yang ditinjau dari tujuan pendidikan, metode pendidikan, dan kurikulum pendidikan.
a.              Tinjauan dari Tujuan Pendidikan
Hakekat dari tujuan pendidikan adalah menjadikan peserta didik tumbuh dan berkembang lebih baik, yaitu dengan cara menciptakan generasi yang mengalami kemajuan, antara lain memiliki kecerdasan intelektual, cakap, terampil, dan yang terpenting adalah dapat menjadi individu yang berkualitas. Pembinaan kembali daya intelektual dan spiritual yang sehat akan membina kembali manusia melalui pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang benar pula demi generasi sekarang dan generasi yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia. Berawal dari tujuan pendidikan tersebut, maka sekolah-sekolah rekonstruksionis berfungsi sebagai lembaga utama untuk melakukan perubahan sosial, ekonomi dan politik dalam masyarakat. Perubahan dilakukan dengan cara melakukan sebuah perombakan secara menyeluruh sistem pendidikan modern yang memiliki kecenderungan bersifat pragmatis menjadi sebuah pendidikan dengan sistem yang kompleks, yaitu peserta didik yang berkualitas secara menyeluruh sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan yang tertinggi.
Wujud nyata yang ingin dicapai dalam pendidikan rekonstruksionis adalah dapat teraksananya tugas sekolah-sekolah rekonstruksionis yaitu mengembangkan ”insinyur-insinyur” sosial, warga-warga negara yang mempunyai tujuan mengubah secara radikal wajah masyarakat masa kini.
Adapun tujuan secara spesifik dari pendidikan rekonstruksionis adalah membangkitkan kesadaran para peserta didik tentang masalah sosial, ekonomi dan politik yang dihadapi umat manusia dalam skala global, dan mengajarkan kepada mereka keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut.
b.             Tinjauan dari Metode Pendidikan
Banyaknya permasalahan dalam pendidikan menuntut keberanian untuk dapat mengkritisi tentang kegagalan-kegagalan pendidikan modern. Peserta didik diharapkan dapat memberikan sebuah penilaian tentang sistem pendidikan modern, kemudian dapat melakukan sebuah refleksi sebagai usaha pembaharuan sistem pendidikan modern yang cenderung pragmatis.
Analisis kritis terhadap kerusakan-kerusakan masyarakat dan kebutuhan-kebutuhan programatis sangat dibutuhkan sebagai sebuah usaha untuk perbaikan sistem pendidikan masa kini. Dengan demikian, metode-metode pendidikan yang dapat digunakan menurut para rekonstruksionis dalam proses pembelajaran dan pendidikan dapat menggunakan metode-metode yang menuntut keaktifan peserta didik dan keterampilan serta kecakapan peserta didik dalam memecahkan masalah, menganalisis kebutuhan hidup, dan penyusunan program aksi perbaikan masyarakat, karena pada hakekatnya pendidikan dituntut untuk dapat mewujudkan generasi yang mampu mengatasi setiap permasalahan kehidupan secara menyeluruh, bukan hanya sekedar pendidikan yang bertujuan secara pragmatis.
c.              Tinjauan dari Kurikulum Pendidikan
Kurikulum pendidikan disusun dengan berisikan mata-mata pelajaran yang berorientasi pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat masa depan. Kurikulum dituntut untuk memuat mata-mata pelajaran yang berorientasi kepada fungsinya yaitu mewujudkan pendidikan yang dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan dalam kehidupan berteknologi modern, bahkan dapat memanfaatkan dan mengembangkan teknologi-teknologi modern sebagai suatu alat mengembangkan peradaban kehidupan manusia. Kurikulum dalam sekolah-sekolah rekonstruksionis haruslah dapat mengikuti perkembangan zaman.
Dalam kurikulum pada sekolah-sekolah rekonstruksionis banyak berisi masalah-masalah yang kompleks, yaitu masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik yang dihadapi umat manusia, yang termasuk di dalamnya masalah-masalah pribadi para peserta didik itu sendiri, sehingga peserta didik telah terbiasa dididik untuk dapat menyelesaikan suatu permasalahan hidup secara nyata. Selain itu kurikulum juga berisikan program-program perbaikan yang ditentukan secara ilmiah untuk aksi kolektif.
Struktur organisasi dalam kurikulum sekolah-sekolah rekonstruksionis terbentuk dari cabang-cabang ilmu sosial dan proses-proses penyelidikan ilmiah sebagai metode pemecahan masalah.

2.             Rekonstruksionisme Sebagai Perombak Struktur Susunan dalam Pendidikan
Selain rekonstruksionisme sebagai perombak sistem pendidikan, pemikiran dalam aliran rekonstruksionisme juga dapat dijadikan sebagai perombak struktur susunan dalam pendidikan yang dapat diklasifikasikan dalam beberapa tinjauan pokok, antara lain sebagai perombak sistem pendidikan yang ditinjau dari peran peserta didik dan peran pendidik dalam kegiatan belajar mengajar.
a.              Peran Peserta Didik
Peserta didik adalah generasi muda yang sedang tumbuh menjadi manusia pembangun masyarakat masa depan. Sebagai pembangun masyarakat masa depan tentunya bukan tugas yang mudah, karena tugas tersebut yang menjadikan peran peserta didik sebagai penentu kemajuan atau kemunduran suatu bangsa.  Begitu pentingnya peran peserta didik yaitu sosok yang sangat diharapkan suatu bangsa dalam menentukan nasibnya, maka peserta didik perlu berlatih keras untuk menjadi insinyur-insinyur sosial yang diperlukan untuk membangun masyarakat masa depan. Peserta didik harus dibekali pengetahuan secara kontekstual sehingga peserta didik mampu memahami pengetahuan tersebut bukan hanya dari segi intelegensi kognisi saja, akan tetapi peserta didik dituntut untuk dapat lebih memahami bagaimana cara menerapkan pengetahuan itu sendiri sebagai suatu alat untuk memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan.
Peserta didik akan dapat merealisasikan perannya dengan baik manakala didukung oleh faktor-faktor pendukungnya, baik faktor-faktor intern, yaitu faktor-faktor pendukung yang berasal dari diri pribadi peserta didik itu sendiri, maupun faktor-faktor ekstern, yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar individu peserta didik.
b.             Peran Pendidik
Pendidik merupakan sosok manusia yang memiliki tugas untuk memberikan pembelajaran dan pendidikan kepada peserta didik. Pendidikan yang ideal yaitu pendidikan yang dalam proses pelaksanaannya bukan hanya sekedar melakukan transfer of knowledge atau dengan kata lain hanya ditekankan pada inner knowledge, akan tetapi yang sangat penting untuk dapat mengatasi permasalahan-permasalahan dalam kehidupan secara nyata adalah proses pendidikan dengan melakukan transfer of value atau ditekankan pada inner experience. Maka, peran pendidik harus mampu membuat para peserta didik menyadari masalah-masalah yang dihadapi umat manusia, mambatu mereka merasa mengenali masalah-masalah tersebut sehingga mereka merasa terikat untuk memecahkannya.
Pendidik harus terampil dalam membantu peserta didik menghadapi kontroversi dan perubahan. Pendidik harus mampu menumbuhkan cara berpikir yang berbeda-beda sebagai suatu cara untuk menciptakan alternatif-alternatif pemecahan masalah yang menjanjikan keberhasilannya. Dalam hal ini Pendidik harus mampu menciptakan inovasi-inovasi terbaru dalam meningkatkan kualitas dari pendidikannya.






















PENUTUP

Kesimpulan
Dalam konteks pendidikan, aliran rekonstruksionisme berupaya melakukan sebuah perombakan dalam pendidikan yang bertujuan untuk merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern serta membina suatu konsensus yang paling luas dan mungkin mengenai tujuan pokok tertinggi dalam kehidupan manusia. Mereka bermaksud ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang dipandang pantas dan adil dengan rekonstruksi-rekonstruksi yang ditawarkannya.
Adapun upaya yang dapat dilakukan oleh aliran rekonstruksionisme untuk dapat memperbaiki sistem pendidikan supaya tidak terkungkung dalam sebuah pendidikan yang amat tradisional dan tidak dapat menyesuaikan perkembangan zaman, akan tetapi juga tidak terjebak dalam pemahaman tentang pendidikan yang pragmatis adalah dengan implikasi-implikasi dari pemikiran-pemikiran pada aliran rekonstruksionisme yang dapat diklasifikasikan menjadi rekonstruksionisme sebagai perombak sistem pendidikan yang dilihat dari tinjauan terhadap tujuan pendidikan, metode pendidikan, dan kurikulum pendidikan, serta rekonstruksionisme sebagai perombak struktur susunan dalam pendidikan yang dilihat dari tinjauan pendidik dan peserta didik itu sendiri.

Rekomendasi
Melihat berbagai permasalahan dalam pendidikan di dunia modern ini, sangat dibutuhkan adanya inovasi baru dalam pendidikan di Indonesia guna melakukan sebuah perombakan secara menyeluruh dalam pelaksanaan pendidikan. Salah satu upaya penciptaan inovasi baru dalam pendidikan adalah dengan mengambil sebuah pemikiran dari aliran rekonstruksionisme, yaitu pendidikan pada masa kini harus lebih peka terhadap permasalahan kehidupan secara nyata, sehingga peserta didik dituntut untuk dapat lebih memahami bagaimana cara menerapkan pengetahuan itu sendiri sebagai suatu alat untuk memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA

Gandhi, Teguh Wangsa. Filsafat Pendidikan (Mazhab-mazhab Filsafat Pendidikan). Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Jalaluddin & Abdullah Idi. 2010. Filsafat Pendidikan :Manusia, Filsafat, dan Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Muhadjir, Noeng. 2001. Filsafat Ilmu: Positivisme, PostPositivisme, dan PostModernisme. Yogyakarta: Rakesarasin.
Todd, Emmanuel. 2007. Menjelang Keruntuhan Amerika. Bekasi Timur: Menara.






[1]Jalaluddin & Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (Manusia, Filsafat, dan Pendidikan), (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 118.
[2]Teguh Wongso Gandhi H. W., Filsafat Pendidikan (Mazhab-mazhab Filsafat Pendidikan), (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 191.
[3]Teguh Wongso Gandhi H. W., Filsafat Pendidikan (Mazhab-mazhab Filsafat Pendidikan), (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 189.
[4] Emmanuel Todd, Menjelang Keruntuhan Amerika, (Bekasi Timur: Menara, 2007),hlm.48.
[5]Aliran Rekonstruksionisme dalam Pendidikan, from: http://www.nd.edu/~rbarger/www7/gcounts.html, 05/05/2011.
[6]Aliran Rekonstruksionisme dalam Pendidikan, from: http://www.froebelweb.org/web2027.html, 05/05/2011.
[7] Murry Nelson, Gale Encyclopedia of Biography, from: http://www.answer.com/topic/harold-rugg, 05/05/2011.
[8] Jalaluddin & Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan :Manusia, Filsafat, dan Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 98.
[9] Ibid, hlm. 98.
[10] Ibid, hlm. 99.
[11] Ibid, hlm. 100.
[12] Ibid, hlm. 100.
[13] MTP-UNJA 2009, Aliran Rekonstruksionisme dalam Pendidikan, from: http://kukuhsilautama.wordpress.com/2011/03/31/aliran-rekonstruksionisme-dalam-pendidikan, 05/05/2011

PROGRESIVISME

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Progresivisme sebagai salah satu teori pendidikan, muncul sebagai bentuk reaksi terhadap pola pendidikan tradisional yang menekankan metode-metode formal pengajaran, belajar mental (kejiwaan), dan susastra klasik peradaban Barat.[1] Aliran ini mendukung pemikiran baru yang dipandang lebih baik bagi kemajuan yang akan datang.
Progresivisme, yang merupakan sebuah aliran filsafat pendidikan ini lahir dari dunia barat. Karena kelahiran progresiviseme yang dari dunia barat inilah menyebabkan progresivisme memiliki corak epistimologi khas barat. Walaupun demikian, bukan berarti progresivisme tidak dapat diterapkan di dunia timur.
Aliran progresivisme mendorong perubahan-perubahan yang ada dalam dunia pendidikan. Aliran ini mampu mempengaruhi pandangan intelektual tokoh-tokoh dunia dan sekaligus memicu perkembangan teori-teori pendidikan Yaitu dunia pendidikan yang memerlukan kemodernan di dalamnya. Dunia pendidikan yang dapat menjawab laju pertumbuhan teknologi yang semakin hari semakin cepat.
Pertumbuhan dan kemajuan teknologi yang begitu pesat, menuntut pendidikan harus lebih cepat untuk maju dan survive. Sehingga pendidikan adalah jawaban dari banyak hal yang merintangi dalam roda perjalanan kehidupan.
Sehubungan dengan itu, bagaimana aliran progresivisme ini memandang esensi dari pendidikan itu sendiri sebagai bagian pokok dari kelahiran kemajuan guna survive dalam setiap nafas kehidupan yang senantiasa mengalami kemajuan dan perkembangan yang begitu cepat?
Lalu bagaimana implikasi dari konsep aliran progresvisme ini terhadap pendidikan serta bagaimana pula kurikulum yang terpengaruh dengan prinsip-prinsip aliran progresivisme? Hal inilah yang menjadikan progresivisme menjadi lebih menarik dalam setiap pokok pembahasannya.
Selangkah lebih maju dari aliran sebelumnya, progresivisme memberikan jawaban atas beberapa masalah yang ada dalam pendidikan sebagai arah pokok kemajuan itu sendiri. Progresivisme mencoba menjawab kemajuan jaman dengan pendidikan yang berpusat pada kemajuan itu sendiri.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, secara sederhana dapat dirumuskan inti permasalahan yang menjadi pokok bahasan makalah ini, yaitu:
1.         Bagaimana latar belakang munculnya aliran filsafat progresivisme?
2.         Apa esensi pendidikan menurut aliran filsafat progresivisme?
3.         Bagaimana implikasi aliran filsafat progresivisme terhadap pendidikan?

















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Munculnya Progresivisme
Progresivisme bukan merupakan suatu bangunan filsafat atau aliran filsaat yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu gerakan atau perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918.[2]
Progresivisme dalam pendidikan adalah bagian dari gerakan reformasi umum ssosial-politik yang menandai kehidupan Amerika di akhir abad XIX dan awal abad XX, disaat Amerika berusaha menyesuaikan diri dengan urbanisasi dan industrialisasi masif.[3]
Progresivisme sebagai sebuah teori pendidikan muncul sebagai bentuk reaksi terbatas terhadap pendidikan tradisional yang menekankan metode-metode formal pengajaran, belajar mental (kejiwaan), dan kesusastraan klasik peradaban Barat. Pengaruh intelektual utama yang melandasi pendidikan progresif adalah John Dewey, Sigmund Freud, dan Jean Jacques Rousseau.
Dewey menjadikan sumbangan pemikirannya sebagai seorang filsuf aliran pragmatik yang menuliskan banyak hal tentang landasan-landasan filosofis pendidikan dan berupaya menguji keabsahan gagasan-gagasannya dalam laboratorium sekolahnya di Universitas Chicago. Dengan demikian pragmatime kiranya dapat dilihat sebagai pengaruh utama dalam teori pendidikan progresif.
Pengaruh kedua adalah teori psikoanalisis Freud. Teori Freudian menyokong banyak kalangan progresif dalam mencuatkan suatu kebebasan yang lebih bagi ekspresi diri diantara anak-anak dan suatu lingkungan pembelajaran yang lebih terbuka dimana anak-anak dapat melepaskan energi dorongan-dorongan instingtif mereka dalam cara-cara kreatif.
Pengaruh ketiga adalah karya Emile (1762) Rousseau. Karya ini secara khusus menarik hati kalangan progresif yang menentang terhadap adanya campur tangan orang-orang dewasa dalam menetapkan tujuan-tujuan pembelajaran atau kurikulum subjek didik.
Perlu dicatat bahwa penekanan child centered (berpusat pada subjek didik) kiranya lebih sesuai dengan pemikiran Rousseau dan Freud daripada dengan pemikiran Dewey, sekalipun Dewylah yang secara umum menerima cercaan lantaran berbagai kritik pada pendidikan progresif. Pengaruh-pengaruh intelektual yang mendasar itu kemudian dikembangkan ke dalam teori pendidikan progresif dan dipraktekan di sekolah secara aktif.
Teori progresif dalam keutuhannnya tidak prnah menjadi praktik utama dalam lingkup luas sistem-sistem sekolah, apa yang diadopsi adalah serpihan-serpihan progresivisme yang dicampur dengan metode-metode lain dalam corak elektik.
Kalangan progresif, tidak dilihat sebagai sebuah kelompok yang terpadu dan seragam menyangkut semua persoalan teoritis. Walaupun dalam  kenyataannya para kalangan progresivisme sama-sama menentang terhadap praktik-praktik sekolah tertentu (yang masih menggunakan corak pemikiran tradisional dalam pelaksanaannya). Allan Ornstein menuliskan bahwa mereka (kalangan progresivisme) secara umum mencerca hal-hal berikut:
1.      Guru yang otoriter
2.      Terlalu bertumpu pada text books atau metode pengajaran yang berorientasi buku
3.      Belajar pasif dengan penghafalan informasi dan data faktual
4.      Pendekatan empat dinding bagi pendidikan yang berusaha mengisolasikan pendidikan dari realitas sosial, dan
5.      Pengunaan hukum menakutkan atau fisik sebagai suatu bentuk pendisiplinan.
Kekuatan organisasional utama progresivisme dalam pendidikan adalah Asosiasi Pendidikan Progresif (1919-1955 M). Pendidikan progresif harus dillihat, baik sebagai gerakan terorganisir maupun sebagai teori. Jika seseorang berupaya memahami sejarah dan pengaruhnya. Dalam kedua sisi itu, pendidikan progresif mencuatkan isi prinsip-prinsip pokok. Beberapa ide gagasan progresif telah diperbarui dalam humanisme pendidikan akhir dekade 1960-an dan awal 1970-an.[4]
Progressivisme sebagai ajaran filsafat mempunyai watak yang dapat digolongkan sebagai berikut:[5]
1.      Negative and diagnostic yang berarti: bersikap anti terhadap otoritarianisme dalam absolutisme dalam segala bentuk baik yang kuno maupun yang modern, yang meliputi semua bidang kehidupan manusia : agama, moral, social, politik dan ilmu pengetahuan, dan ciri kedua
2.      Positive and remedial, yakni suatu pernyataan dan kepercayaan atas kemampun manusia sebagai subyek yang memiliki potensi-potensi alamiah, terutama kekuatan-kekuatan self-regenerative untuk menghadapi dan mengatasi sebuah problem hidupnya.
Latar belakang ide-ide filsafat Yunani, baik Heraklitos maupun Socrates, bahkan juga Protagoras amat mempengaruhi aliran ini.
Ide Socrates yang menyatukan nilai ilmu pengetahuan dengan prinsip-prinsip moral, dianggap berpengaruh atas progressivisme. Karena ilmu kebaikan manusia tercapai, menjadikan ilmu mempunyai nilai ethis, nilai bina kepribadian. Dan kepribadian ideal ialah yang berilmu dalam arti demikian, sebab ilmu dan kebaikan pribadi adalah identik.
Filosof Prancis Bacon telah menanamkan asas metode experiment yang kemudian menjadi metode utama dalam filsafat pendidikan progressivisme. John Locke, tidak saja teorinya tentang empirisme yang menekankan factor luar yang amat dominan dalam pembinaan kepribadian. Tapi juga teorinya tentang asas kemerdekaan, lebih-lebih yang dilaksanakan sebagai kemerdekaan politik yang menghormati hak asasi manusia sebagai pribadi. Demikian pula Rousseau yang meyakini kebaikan kodrat manusia, yang menghormati perkembangan alamiah anak.
Akhirnya tokoh-tokoh pelopor bangsa Amerika seperti Benjamin Franklin, Thomas Paine, Thomas Jefferson telah mempengaruhi progressivisme dalam sikapnya yang menentang dogmatism, dan sikap positif yang menjunjung hak asasi individu dan nilai-nilai demokrasi.
Di samping pengaruh-pengaruh tokoh filsafat diatas, ada pula pengaruh kebudayaan yang secara khusus ditulis oleh Brameld sebagai tiga factor kebudayaan yang berpengaruh atas perkembangan progresivisme.
1.      Revolusi Industri
Revolusi industry adalah istilah yang dipakai untuk suatu era dari ekonomi modern yang merubah keadaan social politik manusia. Era ini ditandai dengan kemerosotan feodalisme dan timbulnya serta matangnya kapitalisme.
2.      Modern Science
Sumbangan utama ilmu pengetahuan modern yang amat bermanfaat bagi filsafat progressivisme ialah dalam kekuatan metode-metode baru dalam membina kemampuan adaptasi manusia terhadap lingkungan. Yakni cara-cara yang timbul dan berkembang didalam kondisi-kondisi lingkungan hidup itu sendiri seperti pengujian terhadap suatu teori, analisa dan proses kejelasan sesuatu, dan control atas induksi makin utama dibandingkan dengan metode deduksi.
3.      Perkembangan Demokrasi
Seperti juga perkembangan industry dan science, maka perkembangan masyarakat demokrasi amat berpengaruh atas kebudayaan modern umumnya, khususnya kepada progressivisme. Malahan ketiga bidang itu, industry, science dan demokrasi langsung ataupun tak langsung mempunyai pengaruh satu sama lain.

B.     Esensi Pendidikan
Pengertian dasar yang menjadi ciri dari aliran ini adalah progres yang berarti maju. Progresivisme lebih mengutamakan perhatiannya ke masa depan daripada ke masa lalu.
Progresivisme memandang bahwa kemajuan yang telah dicapai oeh manusia dewasa ini karena kemampuan manusia dalam mengembangkan berbagai ilmu. Ini meliputi ilmu-ilmu sosial, budaya, maupun ilmu pengetahuan alam.
Contoh untuk menjelaskan pandangan progresivisme tersebut dapat diambil dari antropologi dan psikologi. Dari antropologi dapat dipelajari bahwa manusia membentuk masyarakat, mengembangkan kebudayaan, dan telah berhasil untuk terus membina kehidupan dan peradaban. Kehidupan dan dan peradaban yang dibina oleh manusia itu selalu diupayakan untuk mendapat kemajuan.
Dari psikologi dapat dipelajari bahwa manusi mempunyai akal budi. Dengan kemampuan pikirannya dan pengembangan imajinasinya ternyata manusia mampu kreatif untuk meringankan hidupnya dengan ciptaannya. Semuanya itu digunakan untuk meraih kemajuan dalam kehidupannya.
Dalam perkembangannya sampai dewasa ini, progresivisme mempunyai dua corak, yaitu yang disebut seleksi natural (natural srlection) dan eksperimentalisme (experimentalism). Corak seleksi natural diadaptasikan dari darwinisme sosial, sedangkan eksperimentalisme bersumber pada teori pendidikan John dewey.[6]
Aliran ini sangat berpengaruh dalam pembahasan pendidikan yang di dorong oleh aliran naturaisme dan eksperimentalisme, instrumentalisme, evironmentalisme, dan pragmatisme sehingga penyebutaan nama progresivisme sering disebut salah satu dari nama-nama aliran tadi. Progresivisme dalam pandangannya selalu berhubungan dengan pengertian “the liberal road to culture” yakni liberal dimaksudkan sebagai fleksibel (lentur dan tidak kaku), toleran dan bersikap terbuka, serta ingin mengetahui dan menyelidiki demi pengembangan pengalaman.[7]


Ciri-ciri utama aliran progresifisme antara lain:[8]
1.      Manusia sebagai subjek yang memiliki kemampuan menghadapi dunia dan lingkungan hidupnya.
2.      Manusia mempunyai kemampuan untuk mengatasi dan memecahkan masalah-masalah yang akan mengancam manusia itu sendiri.
3.      Pendidikan dianggap mampu untuk mengubah dan menyelamatkan manusia demi masa depan.
Menurut progresivisme proses pendidikan mempunyai dua segi, yaitu psikologis dan sosiologis. Dari segi sosiologis, pendidik harus dapat mengetahui tenaga-tenaga atau daya-daya yang ada pada anak didik yang akan dikembangkan. Psikologisnya seperti yang ada di Amerika, yaitu psikologi dari aliran Behaviorisme dan Pragmatisme. Dari segi sosiologis, pendidik harus mengetahui ke mana tenaga-tenaga itu harus dibimbing.[9]
Tujuan umum pendidikan adalah warga masyarakat yang demokratis. Isi pendidikannnya lebih mengutamakan bidang-bidang studi seperti IPA, Sejarah, Keterampilan, serta hal-hal yang berguna atau langsung dirasakan oleh masyarakat.
Metode scientific lebih dipentingkan daripada memorisasi. Praktek kerja di laboratorium, di bengkel, di kebun/lapangan, merupakan kegiatan yang dianjurkan dalam rangka terlaksananya “learning by doing” (belajar sambil bekerja, terintegrasi dalam satu unit).
Sikap progresivisme yang memandang segala sesuatu berdasarkan fleksibilitas, dinamika dan sifat-sifat lain yang sejenis, tercermin dalam pandangannya mengenai kurikulum sebagai pengalaman yang edukatif, bersikap eksperimental dan adanya rencana dan susunan yang teratur. Kurikilum haruslah terbuka kemungkinan adanya peninjauan dan penyempurnaan. Fleksibilitas ini dapat membuka kemungkinan bagi pendidikan untuk memperhatikan tiap anak didik dengan sifat-sifat dan kebudayaan masing-nasing. Selain ini semuanya diharapkan dapat sesuai dengan keadaan dan kebutuhan setempat.
Oleh karena sifat  kurikulum yang tidak baku dan dapat di revisi ini, maka jenis yang memadai adalah kurikulum yang “berpusat pada penggalaman”. Selain itu, menurut pogresivisme, yang dapat dipandang maju adalah tipe yang di sebut “core curriculum” ialah sejumlah pengalaman belajar di sekitar pengalaman umum.[10]
Secara umum terdapat beberapa prinsip pendidikan menurut pandangan progresivisme, antara lain:[11]
1.      Pendidikan adalah hidup itu sendiri, bukan persiapan untuk hidup. Kehidupan yang baik adalah kehidupan intelegen, yaitu kehidupan yang mencakup interpretsi dan rekontruksi pengalaman. Anak akan memasuki situasi belajar yang disesuaikan usianya dan berorientasi pada pengalaman. Tidak ada tujuan umum dan akhir pendidikan. Pendidikan adalah pertumbuhan berikutnya.
2.      Pendidikan harus berhubungan secara langsung dengan minat anak  dan minat individu, yang dijadikan sebagai dasar motivasi belajar. Sekolah menjadi “child centered”, dimana proses belajar ditentukan terutama oleh anak. Secara kodrati anak suka belajar apa saja yang berhubungan  dengan minatnya, atau untuk memecahkan masalahnya. Begitu pula pada dasarnya anak akan menolak apa yang dipaksakan kepadanya. Anak akan belajar dan mau belajar karena merasa`perlu, tidak kkarena terpaksa oleh orang lain. Anak akan melihat relevansi dari apa yang dipelajari terhadap kehidupannya, bahan juga terhadap konsepsi kehidupan orang dewasa.
3.      Belajar melalui pemecahan masalah akan menjadi presenden terhadap pemberian subjeck matter. Jadi, belajar harus dapat memecahkan masalah yang penting  dan bermanfaat bagi kehidupan anak. Dalam memecahkan masalah, anak dibawa berpikir melewati beberapa tahapan, yang disebut metode berpikir ilmiah sebagai berikut:
a.       Anak menghadapi keraguan, merasakan adanya masalah
b.      Menganalisis masalah tersebut, dan menduga atau menyusun hipotesis-hipotesis yang mungkin
c.       Mengumpulkan data yang akan membatasi dan memperjelas masalah
d.      Memilih dan menganalisis hipotesis
e.       Mencoba, menguji, dan membuktikan.
4.      Peran guru tidak langsung, melainkan memberi petunjuk kepada siswa. Kebutuhan dan minat siswa akan menentukan apa yang mereka pelajari. Anak harus diizinkan untuk merencanakan perkembangan diri mereka sendiri, dan guru harus membimbing kegiatan belajar.
Di sisi lain dengan pengalaman guru yang lebih banyak dari peserta didik menempatkannya pada posisi sebagai pemandu di wilayah yang pernah ia lalui, sebagai nasihat peserta didik ketika mengalami jalan buntu. Guru juga sebagai pengawal perjalanan di lingkungan baru yang berubah, berkembang, secara terus-menerus.
5.      Sekolah harus memberi semangat bekerja sama, bukan mengembangkan persaingan. Manusia pada dasarnya sosial, dan keputusan yang paling besar pada manusia karena ia berkomunikasi dengan yang lain. Progresivisme berpandangan bahwa kasih sayang dan persaudaraan lebih berharga bagi pendidikan dari pada persaingan dan usaha pribadi. Karena itu, pendidikan adalah rekontruksi manusia dalam kehidupan sosial. Persaingan tidak ditolak, namun persaingan tersebut harus mampu mendorong pertumbuhan pribadi.
6.      Kehidupan yang demokratis merupakan kondisi yang diperlukan bagi pertumbuhan. Demokrasi, pertumbuhan, dan pendidikan saling berhubungan. Untuk mengajar demokrasi, sekolah sendiri harus demokratis. Sekolah harus menungkatkan “student goverment”, diskusi bebas tentang suatu masalah, partisipasi penuh dalam semua pengalaman pendidikan. Namun, sekolah tidak mengindoktrinasi siswa-siswa dengan tata sosial yang baru. 
                        Asas belajar menurut progressivisme[12] meliputi antara lain:
1.      Anak dan lingkungannya
                        Anak berada di dalam lingkungan yang selalu mengalami proses perubahan, perkembangan. Meskipun anak sebagai bagian integral dari lingkungannya, namun ia tetap mempunyai identitas sendiri yang berbeda dengan mahluk-mahluk alamiah yang manapun. Sebab anak memiliki potensi dan kemampuan inteligensi yang dapat memecahkan problem dalam kehidupannya. Dan proses pendidikan terutama dipusatkan untuk latihan dan penyempurnaan inteligesi.
2.      Living as Learning (kehidupan yang real sebagai proses belajar)
                        Belajar sesungguhnya bukan semata-mata terjadi di dalam sekolah, belajar terjadi di semua kesempatan dan tempat, jadi didalam masyarakat. Justru proses edukatif harus mampu mengalahkan pengaruh-pengaruh buruk yang ada didalam masyarakat dengan jalan mengimbangi kondisi masyarakat dengan kondisi-kondisi sekolah.

C.    Pandangan Terhadap Progresivisme
1.      Pandangan Ontologi
Thesis aliran ini tentang ontologi, tentang hakekat ekssistensi, realita, tersimpul dalam asas-asas sebagai berikut:
a.       Asas Herebyb atau Asas Keduniawian
Realita semesta sebagai kosmos dengan istilah “universe” berarti eksistensi yang sama  luas, tak terbatas. Tetapi realita kosmos yang demikian sungguh-sungguh realita, bukan dalam arti yang dimaksud oleh doktrin realita mutlak. Sebab realita kosmos itu adalah kenyataan di mana kehidupan manusia berada dan berlangsung.
b.      Pengalaman sebagai realita
Asas ontologinya yang didasarkan pada pengalaman adalah suatu dalil yang bersumber dalam teori evolusi. Pengalaman adalah perjuangan, sebab hidup sebenarnya adalah tindakan-tindakan dan perubahan-perubahan. Dalam proses ini, maka kesempatan, suatu yang tidak terduga-duga, suatu yang baru, suatu yang tak teramalkan selalu memegang peranan besar dalam peristiwa-peristiwa kehidupan. Manusia, sebagaimana juga mahluk-mahluk lain, akan tetap hidup dan berkembang jika ia mampu mengatasi perjuangan, perubahan ; ia berarti bertindak.
c.       Pikiran (mind) sebagai fungsi manusia yang unik.
Binatang akan selalu dapat hidup di rimba karena kemampuan kodrati yang dimiliki seperti kekuatan, daya cium, daya tangkap yang kuat. Demikian pula manusia mampu hidup karena fungsi-fungsi jiwa yang ia miliki. Menurut progressivisme potensi inteligensi ini meliputi kemampuan mengingat, imaginasi, menghubung-hubungkan, merumuskan, melambangkan dan memecahkan persoalan-persoalan serta berkomunikasi (social dan intelek) dengan seamanya, Mind adalah suatu integritas didalam kepribadian, bukan suatu entity tersendiri. Eksistensi dan realita mind hanyalah didalam aktivitas, dalam tingkah laku. Mind ialah apa yang manusia lakukan. Dan mind pada prinsipnya adalah yang berperan didalam pengalaman.
2.      Pandangan Epistemologi
a.       Pengetahuan dan kebenaran
Suatu ide yang dapat dilaksanakan adalah suatu tujuan atau test atas kebenaran ide itu. Test ini adalah utuk mengetahui kualitas kebenaran suatu ide dalam arti sampai di mana ide itu berguna dan memenuhi harapan untuk menyesuaikan diri dengan tantangan-tantangan yang ada.
b.      Pengetahuan itu bersifat pasif
Pengetahuan ialah perbendaharaan informasi, fakta, hukum-hukum, prinsip-prinsip, proses, kebiasaan-kebiasaan yang terakumulasi didalam pribadi sebagai hasil proses antara reksi dan pengalaman-pengalaman.



c.       Kebenaran bersifat aktif
Kebenaran dianggap sebagai aktif, karena kebenaran adalah hasil tertentu dari pada pengetahuan, hasil pemilihan alternative-alternatif dalam proses pemecahan masalah.
d.      Intelegensi dan operasionalisme
Intelegensi dan metode oprasional adalah cirri utama dalam epistemologi progressivisme.
e.       Immediate dan Mediate Experience
1)     Immediate – experience
Kita menbhayati pengalaman ini dalam kesadsaran keseimbangan,. Misalnya dalam keadaan relax dalam ruang istirahat kita duduk membaca majalah.
2)     Mediate experience
Misalnya dalm keadaan relax itu terjadi, tiba-tiba ada telepon bordering. Kabar sedih kita terima, bahwa sahabat karib kita kecelakaan kendaraan.
3.      Pandangan Aksiologi
a.       Approach empiris
Progressivisme mengapproach masalah nilai secara empiris berdasarkan pengalaman-pengalaman real didalam kehidupan manusia.
b.      Approach artistik
      Pragmatisme, khususnya Dewey, amat menaruh perhatian pada studi estetika, nilai-nilai artistik. Sebab, artistik adalah suatu nilai yang memperkaya ekspresi manusia. Artistik adalah suatu energi pendorong kehidupan bagi umat manusia. Nilai-nilai artistik member isi dan kedalaman bagi pengalaman-pengalaman seseorang.
c.       Democracy as Value (demokrasi sebagai nilai)
      Bagi progressivisme, demokrasi ialah suatu pola dan program bagi seluruh scope kehidupan. Demokrasi ialah suatu perwujudan daripada nilai-nilai fundamental, sikap dan praktek-praktek. Demokrasi adalah nilai ideal yang wajib dilaksanakan sepenuhnya dalam semua bidang kehidupan termasuk didalam seni dan keagamaan.

D.    Implikasi dalam Pendidikan
Aliran progresivisme telah memberikan sumbangan yang besar di dunia saat ini. Aliran ini telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan kebaikan baik secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan kemampuan  yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain.
Di dalam sekolah-sekolah progresivisme, masalah kemerdekaan untuk para siswa ini diutamakan sekali. Mereka di dorong dan diberanikan untuk memiliki dan bertindak melaksanakan kebebasan mereka. Mereka diberikan kemerdekaan berinisiatif dan percaya kepada diri sendiri, sehingga anak dapat berkembang pribadinya dengan wajar dan dapat pula memperkembangkan pribadinya dengan wajar.
Apabila kita tinjau dari sudut pragmatisme, maka aliran ini merupakan pelaksana terbesar dari pendidikan progresivisme. Kenyatan yang demikian itu yang telah dilambangkan dengan sebutan “progresivisme” merupakan  petunjuk untuk untuk melaksanakan pendidikan yang lebih maju dari sebelumnya.[13]
Tujuan pendidikan adalah memberikan keterampilan dan alat-alat yang bermanfaat untuk berinteraksi dengan lingkungan yang berada dalam proses perubahan secara terus-menerus. Yang dimaksud dengan alat-alat adalah keterampilan pemecahan masalah (problem solving) yang dapat digunakan oleh individu untuk menentukan, menganalisis, dan memecahkan masalah.[14] Serta tujuan pendidikan hendaklah diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus menerus. Pendidikan bukanlah hanya menyampaikan pengetahuan kepada peserta didik saja, melainkan yang terpenting adalah melatih kemampuan berpikir secara ilmiah.[15]
Kurikulum pendidikan yang dikehendaki oleh filsafat progrsivisme ialah kurikulum yang bersifat fleksibilitas (tidak kaku, tidak menolak perubahan, tidak terikat oleh doktrin tertentu), luas dan terbuka. Dengan berpijak pada prinsip ini, maka kurikulum dapat direvisi dan dievaluasi setiap saat sesuai dengan kebutuhan setempat. Maka kurikulum yang edukatif dan eksperimental atau tipe core curriculum dapat memenuhi tuntutan itu.[16]
Kurikulum dipusatkan pada pengalaman atau kurikulum eksperimental didasarkan atas manusia dalam hidunya selalu berinteraksi di dalam lingkungan yang komplek. Kurikulum eksperimental yaitu kurikulum yang berpusat pada pengalaman, dimana apa yang telah dipelajari anak didik selama di sekolah akan dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Dengan metode pendidikan belajar sambil berbuat (learning by doing) dan pemecahan masalah (problem solving) dengan langkah-langkah menghadapi problem, mengujikan hipotesa. Oleh karena itu, kurikulum seharusnya menggunakan pendekatan interdisipliner.
Melalui proses pendidikan dengan menggunakan kurikulum yang bersifat integrated kurikulum (masalah-masalah dalam masyarakat disusun terintegrasi) dengan metode pendidikan belajar sambil berbuat (learning by doing) dan metode problem solving (pemecahan masalah) diharapkan anak didik menjadi maju (progress) mempunyai kecakapan praktis dan dapat memecahkan problem sosial sehari-hari dengan baik.[17]

E.     Kritik Untuk Progressivisme
Tidak dapat dipungkiri progressivisme dapat melahirkan model pendidikan yang lebih peka terhadap kemajuan laju jaman. Progressivisme juga dapat menjawab beberapa persoalan dalam pendidikan (problem solving) sehingga pendidikan dapat berkembang sedikit lebih maju dibandingkan dengan pendidikan sebelumnya. Kurikulum yang berfilosofikan progressivisme  lebih berani dalam menyampaikan pengetahuan, sehingga pendidikan tampil dengan wajah yang lebih berwarna.
Pendidikan yang lebih maju (progress) yang berasaskan progressivisme bukan berarti tidak membawa dampak negative dalam pendidikan. Dampak nyata yang jelas-jelas dapat dilihat dan juga dirasakan dalam pendidikan progressivisme antara lain adalah : hadirnya sifat dan juga sikap individualism yang banyak ditemukan dalam masyarakat industry ataupun masyarakat perkotaan, rendahnya pengaruh guru / pembimbing dikarenakan guru / pembimbing dianggap sebagai fasilitator saja sehingga rasa hormat kepada guru berangsur-angsur luntur, menjadikan banyak siswa sebagai peserta didik perlahan-lahan meninggalkan warisan social / sejarah yang pernah ada.
Beberapa hal tersebut diatas dikarenakan progressivisme menekankan sisi pragmatis ataupun serba instan dan cepat saji, sehingga kurang memperhatikan norma yang ada. Yang mengakibatkan transfer of value dalam progressivisme hanya mementingkan sisi-sisi yang pragmatis serta serba instan dalam memecahkan masalah.











BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Progresivisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat meghadapi masalah yang menekan atau mengecam adanya manusia itu sendiri. Aliran progesivisme mengakui dan mengembangkan asas progresivisme dalam semua realitas, terutama dalam kehidupan adalah tetap survive terhadap semua rintangan hidup manusia, harus praktis dalam melihat segala sesuatu dari segi keagungannya. Berhubungan dengan itu progresivisme kurang menyetujui adanya pendidikan yang bercorak otoriter, baik yang timbul pada zaman dahulu maupun pada zaman sekarang.
Aliran progresivisme telah memberikan sumbangan yang besar di dunia saat ini. Aliran ini telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan kebaikan baik secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan kemampuan  yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain.

B.     Saran
Dalam kaitannya dengan pendidikn saat ini, masih sering kita jumpai, dibeberapa sekolah yang masih memandang anak didik sebagai objek pendidikan, dan masih menerapkan prinsip otoriter ddalam pelaksanaan  pendidikannya.
Oleh karena itu, seorang pendidik selain memandang anak didik sebagai objek pendidikan, tetapi juga sebaiknya memandang anak didik sebagai objek pendidikan yang mempunyai kompetensi dalam dirinya dalam rangka untuk mengembangkan potensi yang dia miliki.


DAFTAR PUSTAKA

Ali, H. B. Hamdani. 1987. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Kota Kembang.
Barnadib, Imam.  1996. Dasar-dasar Kependidikan. Ghalia Indonesia.
Barnadib, Imam. 1998. Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode. Yoyakarta: Andi Offset.
Idi, Abdullah. Jalaluddin. 1997. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Gaya Median Pranata.
Indar, H. M. Jumberansyah. 1994. Filsafat Pendidikan. Surbaya: Karya Abditama.
R. Knight, George. 2007. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Gama Media.
Sad Iman, Muis. 2004. Pendidikan Partisipatif. Yogyakarta: Safiria Insani Press.
Sadullah,Uyohh. 2007.  Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabe.
Syam, Mohammad Noor. 1980. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila. Jakarta: Erlangga.









[1] George. R. Knight, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Gama Media, 2007), hal. 146.
[2]  Uyoh. Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabet, 2007), hal. 141-142
[3]  George. R. Knight, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Gama Media, 2007), hal. 145.
[4] Ibid, hal. 145-148.
[5] Mohammad Noor Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila,(Jakarta: Erlangga, 1980), hal. 225.

[6] Imam Barnadib, Dasar-dasar`Keendidikan, (Ghalia Indonesia, 1996), hal. 19.
[7] H. M. Jumberansyah Indar, Filsafat Pendidikan, (Surbaya: Karya Abditama, 1994), hal. 130.
[8] Ibid, hal. 131-132.
[9] Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif, (Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2004), hal. 55.
[10] Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode, (Yoyakarta: Andi Offset, 1988), hal. 36-37.
[11]  Uyoh Sadullah, Op Cit, hal.148-150.
[12] Muhammad Nor Syam, Op Cit, hal. 210
[13] H. B. Hamdani Ali, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1987), hal. 146.
[14] Ibid. Hal 147.
[15] Ibid, hal. 77.
[16] Ibid, hal. 79.
[17] Ibid, hal. 80.