PENDIDIKAN DAN PLURALISME KEAGAMAAN
A.
Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia merupakan Negara yang majemuk.
Kemajemukkannya dapat dilihat dari latar belakang suku bangsa, sosial budaya
dan agama yang beraneka ragam. Oleh karena itu, sikap pluralisme harus
ditanamkan pada diri setiap individu agar tercipta Negara yang penuh dengan
kedamaian dan toleransi yang tinggi.
Pluralisme adalah salah satu bagian dari globalisasi. Dimana telah
dijelaskan pada pertemuan sebelumnya bahwa globalisasi adalah wujud dari negara
berkembang. Dan Indonesia adalah salah satu negara yang sedang berkembang,
dimana Indonesia adalah negara yang
harus mampu bersaing dengan global. Semakin berkembangnya suatu negara
tentulah banyak permasalah yang harus dihadapi, seperti permasalah dalam agama
yang tidak sesuai dengan perkembangan IPTEK. Sesungguhnya agama adalah suatu yang penting bagi umat
manusia, karena agama sebagai penyeimbang antara IPTEK modern, dimana IPTEK
sebagai alat untuk menciptakan masa depan yang majudan agama adalah membentuk
moral manusia agar dapat menggunakan IPTEK tersebut menjadi hal yang bermanfaat
bagi manusia.
Sikap pluralisme harus ditumbuhkembangkan pada
generasi muda kita. Penanaman tersebut dapat dilakukan melaui pendidikan.
Pendidikan pluralisme sangat dibutuhkan untuk menciptakan dan memelihara
kerukunan antar pemeluk agama. Karena pendidikan diyakini sebagai usaha sadar,
terarah, dan disertai dengan pemahaman yang baik untuk menciptakan
perubahan-perubahan yang diharapkan pada perilaku jamaah atau komunitas di mana
individu itu hidup (Afifi, 1964:163). Kemudian, pertanyaann yang muncul adalah
bagaimana bentuk pendidikan yang mampu memberikan kontribusi positif bagi
konsep pluralisme?
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan problematika di atas, dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana
hakikat pendidikan dan pendidikan pluralisme?
2.
Mengapa
perlu reformasi pendidikan agama?
3.
Bagaimana
implementasi pluralisme dalam pendidikan?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pluralisme berasal dari kata plural yang berarti
jamak. Dimana terdapat keanekaragaman di dalam masyarakat. pluralisme adalah
keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau kelompok-kelompok kultural dalam
suatu masyarakat atau Negara, serta keragaman kepercayaan atau sikap dalam
suatu badan, kelembagaan dan sebagainya[1]. Dengan demikian, makna pluralisme tidak dapat dipahami hanya
dengan mengatakan bahwa masyarakat kita beraneka ragam, tetapi pluralisme juga
harus disertai dengan adanya toleransi terhadap keragaman itu sendiri. Toleransi
merupakan sikap atau kemampuan menghormati dan menghargai keyakinan dan
perilaku yang dimiliki oleh orang lain.
Yang perlu kita garis bawahi tentang konsep
pluralisme adalah sikap saling mengerti, memahami dan menghormati adanya
perbedaan-perbedaan. Dan dalam bergaul dengan pemeluk agama lain, seseorang
harus memiliki komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing. Sikap
pluralisme tersebut harus ditanamkan pada generasi muda agar tercipta
generasi-generasi muda yang pluralis. Penanaman itu dapat dilakukan melalui
instansi-instansi seperti sekolah, dan sebagainya.
B. Contoh
Kasus Pluralisme di Indonesia
1. Potret
Konflik Etnis di Indonesia
Sejak republik ini terbentuk, catatan kekerasan dan
konflik semakin meningkat. Salah satu kasus tersebut adalah konflik antara
warga Dayak dan Madura di Sampit, Kalimantan Tengah, yang berkembang menjadi
konflik antaretnis. Dalam waktu seminggu, jumlah korban yang tewas dari etnis
Madura tercatat 315 orang. Konflik Sampit telah menambah panjang daftar konflik
yang bernuansa SARA di tanah air.
Konflik antarwarga Dayak dengan warga Madura yang terjadi
tanggal 18 Februari di kota Sampit, ibu kota Kabupaten Waringin Timur,
Kalimantan Tengah, berkembang menjadi kerusuhan antaretnis. Pelaku dan daerah
konflik bertambah luas, hingga menjangkau ke daerah lain seperti Kuala Kapuas,
Pangkalan Bun, bahkan Palangkaraya.
Kerusuhan Sampit dipicu oleh ulah dua orang pejabat yang
takut kehilangan jabatannya. Mereka adalah Fedlik dan Lewis yang sehari-harinya
menjabat di Dinas Kehutanan dan Kantor Bappeda. Target mereka berusaha
menggagalkan pelantikan 10 pejabat eselon I, II dan III untuk mengisi struktur
baru otonomi daerah, pada 19 Februari. Fedlik dan Lewis tak terima pelantikan
tersebut, karena semua pejabat yang akan dilantik beragama Islam.[2]
2. Potret
Kelompok Etnik Jawa Timur di Era Otonomi Daerah
Potret dinamika
kelompok etnik di Jawa Timur dalam era otonomi daerah, menarik untuk dikemukakan. Memperbincangkan eksistensi kelompok
etnik di Jawa Timur dalam era otonomi daerah menjadi menarik karena beberapa
alasan. Pertama, Propinsi Jawa Timur
merupakan salah satu Propinsi di Pulau Jawa yang cukup beragam kebudayaannya.kedua, keberagaman kelompok etnik dan
kebudayaannya pada satu sisi dapat menjadi modal pembangunan yang berharga. Ketiga, selama orde baru tidak semua
kelompok etnik memiliki akses yang setara dalam proses-proses politik dan
ekonomi daerah. Keempat, pandangan
ahli-ahli ekonomi dan politik bahwa dengan membangun kemajuan ekonomi secara
pragmatis dan sistem politik yang demokratis akan dengan sendirinya
menghapuskan persoalan-persoalan etnisitas ternyata tidak sepenuhnya benar. Kelima, era otonomi daerah telah
berimplikasi pada pengakuan negara atas keberagaman kelompok etnik dan
kebudayaannya.[3]
C. Dalil
yang Berkaitan Dengan Pluralisme
1.
“Aku
diutus oleh Tuhan dengan membawa agama yang penuh kecenderungan dan toleransi”.
(HR. Ahmad ibnu Abbas)
2.
“Untukmulah
agamamu dan untukkulah agamaku”. (QS. Al-Kafirun : 6)
D. Hakikat Pendidikan
dan Pendidikan
Pluralisme
1. Hakikat Pendidikan
Pendidikan menurut Ahmad sanusi sebagai abad sumber daya manusia, karena pada masa ini manusia
dituntut untuk meningkatkan keimanan, ketaqwaan atau meningkatkan kecerdasan
baik dalam IQ dan EQ nya, baik dalam individu maupun organisasi/masyarakat.
Sehubungan dengan hal tersebut, tentulah istilah pendidikan perlu
adanya penyegaran atau redefinisi. Karena pendidikan memiliki makna ganda.
Menurut M.D Dahlan arti pendidikan sendiri adalahl: a) suatu lembaga pendidikan
yang mencakup semua kegiatan yang harus ada dalam lembaga pendidikan seperti
Taman Kanak-Kanak, Sekolah, Perguruan Tinggi dan akademisi, b) suatu sistem
pembelajaran yang berkenaan dengan ketrampilan tertentu atau pelatihan di
lokasi tertentu, c) Pelatihan tingkah
laku tertentu yang harus dimiliki oleh siswa, d) Proses penanaman sikap,
keyakinan dan nilai tertentu yang diperoleh melalui berbagai kegiatan sosial di
sekolah.
Sedangkan menurut John Dewey pendidikan dapat diartikan menjadi 2
yaitu dari segi filosofis dan praktis:
a. Pendidikan
dalam arti filosofis adalah sebagai alat untuk memecahkan permasalahan-permasalah kependidikan dalam menyusun teori-teori
berdasarkan pemikiran normatif, spekulatif, rasional, empirik, rasional
filosofis, mapun historis filosofis.
b. Dalam
arti praktik, pendidikan adalah proses pentrasferan pengetahhuan atau
pengembangan potensi-potensi yang dimiliki siswa untuk mencapai perkembangan
secara optimal dan mendayagunakan manusia melalui proses transformasi
nilai-nilai yang utama.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa hakikat
pendidikan adalah untuk transfer of knowledge dan transfer of value. Dimana
seorang yang mencari pendidikan mampu memperoleh pengetahuan dan mendidik dalam
berperilaku atau membawa anak untuk berperilaku ke arah dewasa.
2. Hakikat Pendidikan Pluralisme
Hakikat pendidikan pluralisme keagamaan hampirlah sama dengan
hakikat pendidikaan yaitu untuk memperoleh humanisai dan hominisasi atau
memperoleh transfer of knowlegde dan
transfer of value. Tetapi
pendidikan pluralisme keagaman lebih di pengaruhi oleh agama, maksudnya adalah
pendidikan itu sangat berkaitan dengan agama.
Seperti yang dapat lihat pada era globalisasi ini, bahwa
perkembangan ilmu penegtahuan haruslah selaras dengan agama, karena agama
berfungsi sebagai landasan spiritual untuk membangun kesadaran dan memberi
pengetahuan bahwa seluruh hasil pengetahuan harus diarahkan untuk membentuk
suatu masyarakat yang berpengetahuan dan bermoral.[4]
Inginnya suatu masyarakat pada era globalisasi ini kembali
berpegang pada agama pun menimmbulkan akibat positif dan negatif, akibat
positifnya adalah masyarakat kembali mempelajari agama baik pada kalangan
mayarakat menengah kebawah maupun kalangan modern. Sedangkan akibat negatifnya
adalah terdapat sekelompok kecil masyarakat yang membentuk suatu gerakan yang
fundamentalis.[5]
E.
Reformasi Pendidikan Agama (Dari Eksklusifme Menuju Pluralisme)
Wajah Pendidikan Agama
di Era Orde Baru :
Sebuah Refleksi
Merebaknya aksi-aksi kekerasan, seperti pembunuhan,
pemerkosaan, pembakaran, pengrusakan fasilitas-fasilitas umum, dan tawuran
antarpelajar, ditambah lagi konflik antarumat beragama dan etnis beberapa tahun
silam serta tumbuh suburnya budaya korupsi dan KKN hingga saat ini, semuanya
telah membuktikan kebenaran statement telah gagalnya fungsi pendidikan
agama untuk mentransmisikan nilai-nilai kebaikan pada bangsa Indonesia.
Telah diakui banyak pakar, kegagalan pendidikan
agama dalam mentansfer nilai-nilai kebajikan yang diharapkan semua pihak,
disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya pertama, dikarenakan sistem
pendidikannya yang masih bersifat ideologis-otoriter. Kedua, pendidikan
agama hanya diajarkan secara literer formalistik sehingga wawasan pluralisme
yang menjadi realitas masyarakat kita tidak tampak sama sekali. Ketiga,
materi ajarnya diajarkan secara terpisah-pisah, tidak memenuhi sifat-sifat
integrality, holistic wholistic, continuity, dan consistensy
sehingga materi ajar lepas dari nilai-nilai agama dan hanya mampu mengembangkan
kecerdasan akal dan tidak menyentuh pengembangan kecerdasan emosi dan
spiritual.[6]
Lebih mengerikan lagi, pendidikan agama hanya mengedepankan verbalitas daripada
substansi nilai. Ini semua adalah sistem dan praksis pendidikan yang telah
menghiasi wajah pendidikan agama kita selama Orde Baru.
Berbicara tentang carut-marutnya pendidikan di tanah
air, maka tidak dapat dihindari perdebatan mengenai sistem pendidikan nasional
Indonesia, di samping faktor-faktor lain yang sifatnya lebih pada
masalah-masalah praktis pendidikan. Dengan kata lain, meminjam bahasanya
Bastian yakni penyebab dari segala sebab-sebab utama bagi timbulnya ketidak beresan proses pelaksanaan pendidikan di
suatu negara sangat dipengaruhi oleh sistem apa yang digunakan.
Adapun sistem pendidikan yang telah diterapkan Orde
Baru adalah sistem pendidikan nasional Indonesia yang mensyaratkan bagi sistem
yang bersifat sentral atau terpusat dan sistem yang dilandasi oleh tindakan
penyeragaman atau uniformitas. Sistem keseragaman dalam pendidikan sepeti ini
diakui oleh Prof. Dr. H.A.R. Tilar, seorang pakar pendidikan Indonesia, dengan
mengatakan bahwa “di dalam bidang politik segala sesuatu diarahkan kepada
uniformitas atau keseragaman di dalam berpikir dan bertindak. Pakaian seragam,
wadah-wadah tunggal dari organisasi-organisasi sosial masyarakat yang homogen.
Stabilitas politik dan keamanan merupakan ajaran utama untuk mencapai
perkembangan ekonomi yang tinggi.
Akibatnya ialah berkembangnya kelas menengah yang
lamban dan lemah, yang tidak kreatif dan produktif, dan diarahkan pada
birokrasi yang kaku. Sejalan dengan ini tantangan politik dan sosial yang
sangat homogen telah mematikan kehidupan demokrasi.[7]
Keadaan kehidupan sosial politik, hukum, dan
kebudayaan seperti itu juga tercermin di dalam sistem pendidikan nasional yang
semata-mata hanya untuk mencapai target kuantitatif. Toleransi hidup bersama
dalam kebhinnekaan semakin berkurang bahkan perbedaan-perbedaan semakin
dipertajam dengan berbagai bentuk primordialisme yang terbuka atau yang
ditutup-tutupi. Bukti yang dapat memperkuat argumentasi ini adalah dengan
lahirnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang dikenal dengan sebutan
UU No.2 Tahun 1989. UU pendidikan ini bisa dikatakan sebagai bentuk UU yang terlalu
politis dan penuh dengan “muatan”, sehingga telah mematikan daya kreasi dan
kreativitas masyarakat pendidikan.
Harus disadari bahwa perumusan UU No.2 Tahun 1989
yang lebih memilih pendidikan yang terpusat dan seragam tersebut, karena memang
alasan sejarah Indonesia yang memungkinkan bagi terbitnya undang-undang yang
demikian. Fakta seperti ini dibenarkan oleh Aulia Reza Bastian, menurutnya
“alasan sejarah dan latar belakang sosial, budaya dan agama yang beragama dari
bangsa Indonesia tidak diterjemahkan sebagai peluang tetapi hanya dipandang
sebagai tantangan dan kendala. Kondisi geografis dan keberagamaan dianggap
sebagai ancaman bagi timbulnya disintegrasi bangsa, apalagi setelah timbulnya
prahara politik tahun 1965 dengan munculnya pemberontakan Partai Komunis
Indonesia pada saat itu.
Alasan sejarah dan latar belakang yang demikianlah
yang menjadi landasan berpikir dalam penyusunan sistem pendidikan nasional.
Kondisi ini, masih kata Bastian, juga ditambah dengan alasan-alasan politis
yang sebenarnya jauh dari nilai-nilai ideal pendidikan, yaitu sebagai suatu
usaha untuk melestarikan ideologi. Pada tahapan ini, pendidikan Indonesia sudah
menjadi alat yang sistematis bagi pemerintah untuk melestarikan dan
menyelamatkan negara dan bangsa. Tujuan pendidikan nasional menjadi perwujudan
dari tujuan kebijakan politik.
Penyelenggaraan sistem pendidikan, pada saat Orba
banyak disetir oleh political will. Artinya seluruh sistem pendidikan
mengacu pada kecenderungan politis. Para penguasa terlalu banyak mencampuri dan
“mengarahkan” sistem pendidikan ini, sehingga apa yang disebut filsafat
pendidikan nyaris tidak terefleksikan dalam setiap tindak pendidikan maupun
pembelajaran. Sistem pendidikan, ataupun mungkin lebih sempit dari itu: sistem
persekolahan, terlalu banyak digunakan sebagai vehicle untuk transmisi sosial membangun kehidupan bersama dan
menomorduakan kebhinnekaan demi keekaan, konvergensi, dan kesamaan tujuan
pembangunan.[8]
Pengalaman terpenting yang dapat kita ambil tentang
bahayanya politisasi pendidikan tersebut adalah pengalaman pendidikan agama
selama Orde Baru, yang telah menghantarkan seluruh bangsa Indonesia menuju
konflik kekerasan yang tidak kondusif bagi hubungan antaragama. Bagaimana
agama-agama pada saat itu tidak memiliki kekuatan untuk mengerem agar tidak
terjebak dalam “permainan” yang dikemas oleh kekuasaan, sehingga agama
kehilangan daya kritis dan pembebasan. Yang tersisa dari agama-agama dalam
sejarah Orde Baru adalah agama yang menjadi justifikasi atas keputusan rezim
politik.
Pembelajaran dalam sistem “pendidikan Islam” dan
pendidikan pada umumnya, pada era Orde Baru, memang tidak memberikan ruang bagi
siswa berbeda pendapat dengan guru dan orang tua, atau dengan temannya. Karena
itu, menurut Abdul Munir Mulkhan, pendidikan Islam lebih merupakan indoktrinasi
tunggal tentang kebenaran yang tak mungkin dibantah. Ruangan kelas bagaikan
sebuah “penjara” tanpa peluang kreatif. Karena memang pada saat Orba, akrab di
telinga kita istilah pembangunan manusia seutuhnya, tetapi realitas yang ada
adalah pembodohan dan pemasungan kreativitas, serta pengebirian kebebasan
akademik. Politik semestinya menjadi hak setiap individu direduksi dengan
kebijaksanaan depolitisasi pendidikan. Dengan sendirinya hakikat pendidikan
menjadi tidak utuh dan telah kehilangan ruhnya. Proses belajar yang berjalan
kering dengan kebebasan mengekspresikan diri dan berbeda pendapat, dalam rangka
mencari kebenaran.
Dengan situasi yang seperti itu, agama yang
diharapkan memiliki peran strategis dalam merespons masalah-masalah sosial
kemanusiaan yang terjadi di masyarakat akhirnya mandul. Rezim Orde Baru telah
berhasil dengan sempurna menciptakan masyarakat agamis yang kerdil. Bahkan
dapat dikatakan, agama di bawah rezim Orde Baru telah berhasil menciptakan
manusia-manusia bermoral-etik, kecuali kerakusan akan kekuasaan dan manipulasi
religius. Landasan untuk saling bersaudara, berdialog, dan bekerja sama
terputus.
Kegagalan pendidikan agama di Era Orde Baru,
seharusnya mampu memberikan penyadaran bagi bangsa yang telah didera multi
krisis ini. Marilah kita sebagai anak bangsa melakukan refleksi, atas kegagalan
itu. Refleksi ini penting agar pada masa-masa yang akan datang kita tidak
terjebak pada lubang yang sama, yaitu terpuruk dalam kediktatoran penguasa yang
membawa kita ke kebangkrutan.
Ada enam pilar pembelajaran pendidikan yang
direkomendasikan oleh UNESCO di abad mendatang.[9]
Keenam pilar itu, sesungguhnya merupakan nilai yang terkandung dalam ajaran
agama yang ada di Indonesia. Keenam pilar tersebut, antara lain:
- Learning to Know
“L
to K” yang dimaksudkan di sini adalah bukan sebatas mengetahui dan memiliki
materi informasi sebanyak-banyaknya, menyimpan dan mengingat selama-lamanya
dengan setepat-tepatnya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan yang telah
diberikan, tetapi kemampuan memahami makna di balik materi ajar yang telah
diterimanya. Dengan “L to K” diharapkan mampu menuntun calon ilmuwan untuk
dapat memahami hubungan antara ilmu dengan keyakinan agama yang dipeluknya.
- Learning to Do
“L
to D” merupakan konsekuensi logis dari “L to K”. Kelemahan model pendidikan dan
pengajaran kita selama ini adalah mengajarkan “omong” dan kurang menuntun orang
untuk “berbuat”. Yang dimaksud dengan “L to D” bukanlah kemampuan berbuat yang
mekanis dan pertukangan tanpa pemikiran, tetapi action in thinking dan learning
by doing. Dengan demikian, peserta didik akan terus belajar bagaimana
memperbaiki dan menumbuhkembangkan kerja, juga bagaimana mengembangkan teori
atau konsep intelektualitasnya.
- Learning to Be
Melengkapi
kedua “learning” diatas, “L to Be” akan menuntun peserta didik menjadi ilmuwan
sehingga mampu menggali dan menentukan nilai kehidupannya sendiri dalam hidup
bermasyarakat sebagai hasil belajarnya.
- Learning to Live Together
“L
to L T” ini merupakan kelanjutan yang tidak dapat dielakkan dari ketiga poin
diatas. Oleh karena itu, “L to L T” ini menuntun seseorang untuk hidup
bermasyarakat dan menjadi educated person yang bermanfaat baik bagi diri
dan masyarakatnya, maupun bagi seluruh umat manusia sebagai amalan agamanya.
- Learn How to Learn
“L
to L” ini menuntun peserta didik agar mampu mengembangkan strategi dan kiat
belajar yang lebih independen, kreatif, inovatif, efektif efisien, dan penuh
percaya diri, karena masyarakat baru adalah learning society atau knowledge
society dan orang yang mampu menduduki posisi sosial yang tinggi dan
penting/terhormat adalah mereka yang mampu belajar lebih lanjut. Mereke inilah
yang disebut educated person.
“L
to L” memerlukan metode pembelajaran baru, yaitu pergeseran model belajar
“memiliki” (menghafal) menjadi model belajar “menjadi” (mencari/meneliti).
- Learning Throughout Life
“L
to L” ini menuntun dan memberi pencerahan kepada peserta didik bahwa ilmu
bukanlah hasil buatan manusia, tetapi ilmu adalah hasil temuan atau hasil
pencarian manusia. Karena ilmu adalah ilmu Tuhan yang tidak terbatas dan harus
dicari, maka upaya mencari juga tidak mengenal berhenti.
Bertolak dari butir-butir tersebut, gagasan
paradigma baru pendidikan Indonesia dalam abad mendatang adalah: Pertama,
“Ubah dan kembangkan paradigma lama menjadi paradigma baru. Tinggalkan yang
sudah tidak sesuai dengan tuntutan era informasi dan demokrasi. Kembangkan
nilai-nilai lama yang sekiranya masih dapat dimanfaatkan, dan diciptakan
pandangan baru yang sesuai dengan kebutuhan/tantangan zamannya. Pendidikan masa depan adalah pendidikan
yang didasarkan kepada kebudayaan lokal dan nasional, menuju terwujudnya suatu
masyarakat dunia yang damai. Kedua,
perlunya perubahan metode penyampaian materi pendidikan. Kita perlu lebih menfokuskan
program pendidikan yang menghasilkan manusia-manusia kreatif, memiliki budi
pekerti, serta pengembangan integritas, kemandirian, dan profesionalisme. Ketiga, paradigma
pendidikan agama (termasuk Islam) yang masih eksklusif, dikotomis, dan parsial
harus diubah menuju pendidikan yang inklusif, integralistik, dan holistik.
F.
Pendidikan Integral: Sebuah Upaya
Humanisasi Pendidikan
Selama Orde Baru proses pendidikan telah dilacurkan
sebagai proses indoktrinasi serta telah membatasi kebudayaan hanya pada aspek
intelektual semata-mata. Pendidikan lebih diorientasikan demi pemenuhan aspek
kognitif dan melupakan aspek afektif dan psikomotorik. Hasilnya, seperti telah
kita saksikan bersama, ialah manusia yang dikuasai oleh nilai-nilai
keserekahan, kekerasan, dan tumpulnya rasa kemanusiaan.
Padahal
pendidikan yang baik, mengutip pendapatnya Hasan Langgulung, adalah pendidikan
yang mampu memberi sumbangan pada semua bidang pertumbuhan individu, yaitu
bidang akal, psikologis, dan spiritual atau moral.[10]
Dalam bidang pertumbuhan akal (intellectual) pendidikan dapat menolong
individu untuk meningkatkan, mengembangkan, dan menumbuhkan kesediaan,
bakat-bakat, minat, dan kemampuan-kemampuan akalnya dan memberinya pengetahuan
dan keterampilan akal yang perlu dalam hidupnya. Dalam bidang-bidang pertumbuhan psikologis, pendidikan melalui
berbagai medianya dapat menolong individu mendidik dan menghaluskan perasaannya
dan mengarahkannya ke arah yang diingini dimana ia menjadi kekuatan dan
motivasi-motivasi ke arah kebaikan dan kerja yang membina dan berhasil yang
dapat mencapai kemaslahatannya dan kemaslahatan masyarakat dimana ia hidup.
Dalam bidang pertumbuhan spiritual dan moral, pendidikan yang baik dapat
menolong individu menguatkan iman, akidah, dan pengetahuannya terhadap Tuhannya
dan dengan hukum-hukum, ajaran-ajaran, dan moral agamanya.
Terpenuhinya ketiga aspek manusia seperti tersebut
dalam pendidikan, terutama sekali dalam pendidikan agama, adalah merupakan
tantangan besar bagi bangsa Indonesia pasca-Reformasi. Agenda terpenting masa
depan adalah tumbuhnya elite generasi baru yang lebih arif dan manusiawi.
Manusia yang mempunyai kecerdasan yang tinggi sekaligus “tanggap” terhadap
persoalan-persoalan kemanusiaan. Gambaran manusia seperti ini bisa kita sebut
sebagai manusia yang memiliki kepribadian integratif, karena di dalam dirinya
dapat merasakan keseimbangan diantara keinginan, hati, dan perhitungan
nalarnya. Manusia-manusia seperti inilah yang kita harapkan mampu menjadi
pemimpin bangsa, agar bangsa yang masih sakit ini, dapat segera kelur dari krisis
yang masih melilitnya –bukannya manusia-manusia cerdas tetapi suka korupsi dan
menjarah uang rakyat. Dari sinilah pendidikan penting dikembangkan sebagai
proyek humanisasi.
Dari katanya saja sudah jelas,”Humanisasi berarti
proses membawa dan mengarahkan para peserta didik ke arah pendewasaan diri
hingga punya mentalitas sangat manusiawi”, demikian kata Prof.Dr.N.Driyarkara.
Selain itu, humanisasi pendidikan dapat pula diartikan sebagai sebuah usaha
mengembalikan pendidikan pada fitrahnya, dan pendidikan yang memasukkan
“prinsip-prinsip tentang manusia” kedalam filsafat pendidikannya.[11]
Ki Hadjar Dewantara juga berpendapat, bahwa salah satu konsepsi pendidikan
adalah sebagai proses memerdekakan manusia. Manusia merdeka adalah manusia
kolektif, manusia yang selalu sadar bahwa dirinya adalah anggota masyarakat
yang harus melakukan kewajiban-kewajiban yang diletakkan oleh masyarakat
kepadanya.
Pendidikan yang membebaskan benar-benar dapat
menjadikan manusia menjadi manusia. Sebab, dilihat dari aspek tujuannya,
pendidikan yang membebaskan adalah sebuah sistem pendidikan yang menyempurnakan
proses pemecahan masalah secara ilmiah, mengedepankan penyelidikan tertentu
yang bisa memberi hasil pengetahuan objektif (yang lebih efektif dan lebih bisa
dipercaya). Akan tetapi, yang perlu diperhatikan, tujuan pendidikan yang
membebaskan seperti itu, harus menggunakan kurikulum atau pendekatan yang
sesuai dengan kebutuhan siswa. Sebab, kegagalan memilih pendekatan yang sesuai
dapat mengarah pada hasil yang tidak diharapkan, yakni tidak tercapainya
keseimbangan dan keselarasan aspek-aspek kepribadian. Pedekatan holistik yang
dilaksanakan dengan menggabungkan dan memadukan sebanyak mungkin subjek
pelajaran. Adapun butir-butir yang dapat dilakukan sebagai pedoman untuk
mengembangkan kurikulum yang ada dengan pendekatan holistik, antara lain adalah
sebagai berikut: Pertama, melakukan analisis terhadap kebutuhan dan
kondisi peserta didik. Kedua, menghubungkan materi yang diajarkan dengan
pengalaman nyata. Ketiga, memberi kesempatan pada mahasiswa atau peserta
didik untuk mengalami sendiri secara langsung. Dengan demikian, untuk
menyeimbangkan dan menyelaraskan material dan spiritual, individual dan sosial
serta terintegrasinya dalam diri mahasiswa atau peserta didik seperti sikap menghormati
dan menolong orang lain (sebagai salah satu ciri manusia pluralis) akan
terwujud.
G.
Menuju Ke Arah Pendidikan Nilai
Tujuan akhir yang menjadi dambaan setiap orang tua
menyekolahkan anaknya seharusnya patut diperhatikan oleh setiap lembaga pendidikan.
Mesipun juga harus disadari bahwa untuk mencetak manusia “ideal” yang memiliki
kepribadian yang sosial dan religius, bukan semata-mata tanggung jawab sekolah,
melainkan harus didukung semua komponen, termasuk di dalamnya orang tua dan
lingkungan. Namun demikian, sudah menjadi tanggung jawab sekolah untuk
memprogram dan merancang sistem pendidikan seperti yang diharapkan tersebut.
Yaitu, sistem pendidikan dari segi tujuan, materi pendidikan, dan praktiknya
selalu dikaitkan dengan nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan yang universal.[12]
Demi mendukung tercapainya sistem pendidikan
tersebut, maka pendidikan estetislah yang sepatutnya dijadikan fundamen.
Mengapa pendidikan estetika penting? Kata Louis O. Kattsoff dalam bukunya Elements
of Philosophy, pernah berbicara sedikit mengenai kebenaran dan kebaikan,
dengan cepat akan terinagat kepada istilah ketiga dalam ketritunggalan yang
sudah terkenal—keindahan. Epistemologi bersangkutan dengan teori
kebenaran, dan etika berkaitan dengan teori mengenai kebaikan ditinjau dari
segi kesusilaan. Istilah aksiologi dipakai untuk memberikan batasan pengertian
terhadap penyelidikan mengenai kebaikan pada umumnya. Sedangkan bagi
penyelidikan mengenai hakikat keindahan dinamakan “estetika”. Estetika inilah
yang sering mempersoalkan teori-teori mengenai seni. Dan kita tahu, seni
merupakan kegiatan kejiwaan, hakikat seni diletakkan pada institusi serta
perasaan seseorang. Sehingga seseorang yang diajari tentang seni, maka dampak
yang akan muncul adalah perubahan-perubahan kepribadian seseorang yang memiliki
perasaan, penghayatan, dan kepekaan. Jadi, pendidikan estetika sangatlah urgen
demi kehormatan pribadi peserta didik.
Selain pentingnya pendidikan estetika, pendidikan
harus tidak melepaskan dari nilai-nilai akhlak atau sering disebut etika.
Karena salah satu fungsi pendidikan adalah menumbuhkan nilai kebaikan pada
peserta didik. Budi pekerti dalam pendidikan penting dan budi pekerti itu
menentukan beradab atau tidaknya manusia. Pendidikan yang tidak mengajarkan
akhlak hanya akan melahirkan manusia buaya tapi tidak berbudaya, cerdas tapi beringas
seperti hewan, dan akhirnya menjadi manusia yang teralienasi dari sesama dan
Tuhannya.
Melihat pentingnya pendidikan akhlak bagi anak, maka
perubahan muatan-muatan kurikulum akhlak termasuk juga aspek pendekatan dalam
pengajarannya mutlak diperlukan. Hal ini mengingat pendidikan akhlak selama
Orba masih mengembangkan model doktriner-dogmatikal, bukan pendidikan yang
komunikatif-transformatif.
Adapun beberapa kemungkinan pendekatan yang bisa
dikembangkan dalam rangka mengajarkan akidah akhlak, Zuli Qodir dalam Afkar,
telah menawarkan beberapa pendekatan sebagai berikut: [13]
1.
Pendekatan historis. Pendekatan ini
mengandaikan bahwa materi akidah akhlak diajarkan kepada siswa dengan menengok
kembali ke belakang, maksudnya adalah agar anak didik mempunyai kerangka
berpikir yang komplet sampai ke belakang untuk kemudian merefleksikan untuk mas
sekarang dan mendatang.
2.
Pendekatan sosiologis. Pendekatan
sosiologis ini mengandaikan terjadinya proses “kontekstualisasi” atas apa yang
pernah terjadi di masa sebelumnya, atau datangnya di masa lampau.
3.
Pendekatan kultural. Pendekatan kultural
merupakan pendekatan dalam pendidikan akidah-akhlak yang menekankan pada aspek
autentisitas dan tradisi yang berkembang.
4.
Pendekatan psikologis. Pendekatan
pelajaran akhlak secara psikologis merupakan pendekatan yang memerhatikan
situasi psikologi orang per orang secara tersendiri dan mandiri. Artinya,
masing-masing siswa dilihat sebagai manusia mandiri dan unik dengan karakter
dan kemampuan yang dimilikinya.
5.
Pendekatan estetik. Pendekatan dalam
pembelajaran akidah-akhlak secara estetik sebenarnya akan menjadikan siswa
memiliki sifat-sifat yang santun, damai, ramah, dan mencintai keindahan. Karena
dalam perspektif ini pelajaran akidah akhlak tidak didekati secara doktrinal
yang cenderung menekankan adanya otoritas-otoritas kebenaran agama tertentu,
tetapi lebih apresiatif terhadap gejala-gejala yang terjadi di tengah
masyarakat yang dilihat sebagai bagian dari dinamika hidup yang bernilai seni
estetik.
6.
Pendekatan perspektif gender. Pendekatan
ini sebenarnya merupakan pendekatan dalam pengajaran akidah akhlak yang tidak
membeda-bedakan jenis kelamin karena sebenarnya soal jenis kelamin bukan
penghalang bagi seseorang untuk mencapai kesuksesan dalam belajar.
Semua pendekatan tersebut, tampaknya bisa disebut
sebagai pendekatan integratif antara sistem pendidikan dan nilai-nilai akhlak
yang menjadi spirit dan ruh yang melandasinya. Dari sinilah pendidikan yang
menuju ke arah nilai etika dan estetika melalui pelajaran akhlak sangat urgen
untuk diterapkan, agar cita-cita untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya
bisa terealisasi. Yaitu bentuk manusia cerdas, yang dapat menyadari sepenuhnya
pentingnya kejujuran moral, keterbukaan, keadilan, dan saling ketergantungan
satu sama lain melalui kerja sama. Inilah manusia yang dalam dirinya memiliki
kecerdasan akal, kecerdasan emosi, spiritual, dan agama sekaligus sebagai satu
kesatuan yang utuh.
H.
Langkah-Langkah Ke Arah Pendidikan
Transformatif
Pendidikan yang mematikan kreativitas, memenjarakan
peserta didik untuk selalu patuh dan mengikuti aturan-aturan yang diterapkan
oleh penguasa adalah bentuk-bentuk pendidikan yang sudah tidak sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Apalagi dalam era reformasi ini, kurikulum uniform,
sistem belajar mengajar yang indoktriner dan menghafal, tidak pada tempatnya
lagi, alias ketinggalan zaman. Sistem pendidikan pada saat ini, meminjam
bahasanya H.A.R.Tilar, adalah sistem pendidikan yang berorientasi pada
kemandirian siswa.[14]
Dalam pendidikan seperti itu, yang perlu dikuasai
oleh siswa adalah informasi yang telah diolah sendiri atau belajar mandiri.
Peserta didik harus dapat mencari informasi yang diperlukan dengan tuntutan
guru bila diperlukan. Kemajuan ilmu pengetahuan telah merupakan hasil kerja
sama dari bermacam kepakaran atau ahli. Oleh sebab itu, bekerja sama dalam
belajar dan kemudian dalam penelitian merupakan suatu bentuk kelakuan yang
perlu dikembangkan dan dipupuk. Kurikulumnya, dengan demikian, harus berorientasi
pada kepentingan anak didik, pasar, dan pengembangan ilmu.
Selain materi, metodologi proses belajar mengajar
perlu diganti dengan model “menjadi” dimana anak didik sendiri yang mencari dan
menemukan ilmu pengetahuan dalam perspektif menuju kedewasaannya, mengembangkan
jati diri kepribadiannya. Selanjutnya, proses pembelajarannya harus bersifat
horizontal, bukannya menggunakan sistem penyampaian. Evaluasi belajarnya lebih
memiliki peran diagnostik, yang mempunyai nilai supaya peningkatan perbaikan belajar
siswa daripada untuk ukuran kepuasan guru atau penguasa. Proses pembelajaran
perlu menghindari terjadinya mekanisme (1) preskriptif dan (2) transfer
pengetahuan, tetapi digeser ke arah (1) dialogik dan (2) transformasional, yang
menurut Paulo Freire, sebagai perwujudan dari pendidikan yang membebaskan,
sehingga siswa akan merasakan manfaatnya ia belajar.
Sistem pendidikan yang berorientasikan pada
kemandirian siswa inilah yang oleh Ki Hadjar Dewantara, disebut dengan sistem Among, berarti
memberikan kesempatan berkembang pada tiap anak menurut bakat dan perhatiannya,
kesempatan mengembangkan daya ciptanya dan swadayanya, sekolah menurut sistem
ini harus dilengkapi dengan ruangan-ruangan untuk menyelenggarakan
rapat-rapat,diskusi, perpustakaan, laboratorium, berbagai sanggar (studio) seni
lukis, seni pahat, musik, dan sebagainya. Konsepsi pendidikan semacam itu, oleh
Darmaningtyas, dikategorikan sebagai pendidikan transformatif, yaitu “model
pendidikan yang bersifat kooperatif terhadap segenap kemampuan anak untuk
menuju proses berpikir yang lebih bebas dan kreatif. Model pendidikan ini
menghargai potensi yang ada pada setiap individu.
Dengan begitu tujuan akhir pendidikan transformatif
adalah dimilikinya pengetahuan kritis oleh peserta didik. Pengetahuan kritis
ini memungkinkan peserta didik untuk dapat memberikan partisipasi dan
kontribusinya dalam menyelesaikan problem-problem sosial yang muncul. Sebab,
pengetahuan seperti ini mendasarkan diri pada pemikiran subjektif, pemihakan
terhadap nilai, dan mengakui adanya kesadaran dalam proses membangun teori.
Dalam pelaksanaannya, siswa
diajak untuk memahami realitas hidupnya, mulai dari yang konkret sampai dengan
yang abstrak. Sikap yang terlalu kritis terhadap sesuatu yang baru, dan toleran
terhadap hal-hal yang tidak diyakini akan merangsang tumbuhnya kepekaan sosial
dan rasa keadilan. Sikap-sikap seperti inilah yang sangat ditunggu-tunggu dari
bangsa ini untuk dapat mengatasi kemelut sosial budaya, politik, dan ekonomi.
Harus disadari, bahwa pluralitas masyarakat
Indonesia adalah sebuah realitas. Kemajemukan bangsa Indonesia pada saat ini
sedang mengalami beberapa ujian, termasuk diantaranya adalah konflik
berkepanjangan bernuansa SARA.
Maka melalui pendidikan transformatif inilah peserta didik dapat diberdayakan
agar dapat menghadapi dan menyelesaikan konflik dengan cara kreatif dan
menghindarkan diri dari cara kekerasan. Pemberdayaan masyarakat ini tidak
terlepas dari kebiasaan perilaku mereka di sekolah atau dalam pendidikan.
Membiasakan siswa melalui belajar kelompok, kebiasaan mandiri, berinisiatif,
produktif, berencana, tuntas, kreatif, sabar, jujur, terbuka atau ciri-ciri
pendidikan transformatif lainnya, dapat memberdayakan mereka terbiasa hidup
dalam konflik dan terlatih memecahkan konflik itu.
Seandainya pendidikan di Indonesia
masa depan mau mengimplementasikan semua langkah-langkah menuju ke arah
pendidikan transformatif seperti itu, maka pendidikan di Indonesia akan mampu
membawa dan mengembangkan semua potensi daya manusia Indonesia menuju ke arah kedewasaan,
sehingga mereka akan mampu hidup mandiri dan mampu pula mengembangkan tata
kehidupan bersama yang lebih baik sesuai dengan tantangan atau kebutuhan
zamannya. Pendidikan akan mampu mengembangkan harkat dan martabat manusia
sekaligus mampu memanusiakan mereka sebagai manusia sehingga benar-benar mampu
manjadi khalifah di muka bumi.
I.
Implikasi
Pluralisme dalam Pendidikan
Dengan menyadari
bahwa masyarakat kita terdiri dari banyak suku dan beberapa agama, jadi sangat
pluralis. Maka, pencarian bentuk pendidikan alternatif mutlak diperlukan. Yaitu
suatu bentuk pendidikan yang berusaha menjaga kebudayaan suatu masyarakat dan
memindahkanya kepada generasi berikutnya, menumbuhkan akan tata nilai, memupuk
persahabatan antara siswa yang beraneka ragam suku, ras, dan agama,
mengembangkan sikap saling memahami, serta mengerjakan keterbukaan dan dialog.
Bentuk pendidikan seperti inilah yang banyak ditawarkan oleh “banyak ahli”
dalam rangka mengantisipasi konflik keagamaan dan menuju perdamaian abadi, yang
kemudian terkenal dengan sebutan “pendidikan pluralisme”.
Apakah sebenarnya
pendidikan pluralisme itu? Kalau kita melacak referensi tentang pendidikan
pluralisme, banyak sekali literatur mengenai pendidikan tersebut atau sering
dikenal orang dengan sebutan “pendidikan multikultural”. Namun
literatur-literatur tersebut menunjukkan adanya keragaman dalam pengertian
istilah. Sleeter mengartikan pendidikan multikultural sebagai any set of proces by which schools work with
rather than against oppressed group. Banks, dalam bukunya Multicultural education: historical development, dimension, and
practice (1993) menyatakan bahwa meskipun tidak ada konsensus tentang itu
ia berkesimpulan bahwa di antara banyak pengertian tersebut maka yang dominan
adalah pengertian pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color.
Lebih jelasnya,
menariklah kalau kita memperhatikan suatu defenisi tentang pendidikan pluralisme yang disampaikan Frans
Magnez Suseno, yaitu suatu pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka visi
pada cakrawala yang semakin luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau
tradisi budaya dan agama kita sehingga kita mampu melihat “kemanusiaan” sebagai
sebuah keluarga yang memiliki baik perbedaan maupun kesamaan cita-cita. Inilah
pendidikan akan nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan,
dan solidaritas.
Senada dengan itu,
Ainurrofiq Dawam menjelaskan defenisi pendidikan multikultural sebagai proses
pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya etnis, suku, dan aliran
(agama). Pengertian pendidikan multikultural yang demikian, tentu mempunyai
implikasi yang sangat luas dalam pendidikan. Karena pendidikan itu sendiri
secara umum dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang hayat.
Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki penghormatan dan
penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia darimana
pun dia datangnya dan berbudaya apa pun dia. Harapanya, sekilas adalah
terciptanya kedamaian yang sejati, keamanan yang tidak dihantui kecemasan,
kesejahteraan yang tidak dihantui
manipulasi, dan kebahagiaan yang terlepas dari jaring-jaring manipulasi
rekayasa sosial.
Muhammad Ali menyebut
pendidikan yang berorientasi pada proses penyadaran yang berwawasan pluralis
secara agama sekaligus berwawasan multikultural, seperti itu, dengan sebutan
“pendidikan pluralis multikultural”. Menurutnya, pendidikan semacam itu harus
dilihat sebagai bagian dari upaya komprehensif mencegah dan menaggulangi
konflik etnis agama, radikalisme agama, separatisme, dan integrasi bangsa,
sedangkan nilai dasar dari konsep pendidikan ini adalah toleransi.
Memperhatikan
beberapa defenisi tentang pendidikan pluralisme tersebut di atas, secara
sederhana dapatlah pendidikan pluralisme didefenisikan sebagai pendidikan
untuk/tentang keragaman keagamaan dan kebudayaan dalam merespon perubahan
demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara
keseluruhan. Pendidikan disini, dituntut untuk dapat merespon terhadap
perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak
bagi setiap kelompok.
BAB III
PENUTUP
Pluralisme
merupakan sikap saling mengerti, memahami dan menghormati adanya
perbedaan-perbedaan. Dalam pluralisme hakikat pendidikan sebagai transfer of
knowledge dan transfer of value, yakni seorang mencari pendidikan
mampu memperoleh pengetahuan dan mendidik dalam berperilaku atau membawa anak
untuk berperilaku ke arah dewasa.
Pada
masa Orde Baru ruangan kelas hanya sebagai penjara tanpa peluang kreatif,
dimana siswa tidak diberikan kesempatan untuk berbeda pendapat dengan orang tua
dan guru sehingga siswa kurang aktif. Dalam hal agama perubahan muatan-muatan
kurikulum akhlak termasuk juga aspek pendekatan dalam pengajarannya mutlak
diperlukan. Hal ini
mengingat pendidikan akhlak selama Orba masih mengembangkan model
doktriner-dogmatikal, bukan pendidikan yang komunikatif-transformatif. Dalam
era reformasi, seharusnya siswa lebih diberi ruang untuk mengeluarkan pendapat
mereka dengan cara mengubah sistem pendidikan yang lama ke yang baru.
Kalau
tujuan akhir pendidikan adalah perubahan perilaku dan sikap serta kualitas
seseorang, maka pengajaran harus berlangsung sedemikian rupa sehingga tidak
sekedar memberi informasi atau pengetahuan melainkan harus menyentuh hati,
sehingga akan mendorongnya dapat mengambil keputusan untuk berubah. Pendidikan
agama Islam, dengan demikian, di samping bertujuan untuk memperteguh keyakinan
pada agamanya, juga harus diorientasikan untuk menanamkan empati, simpati dan
solidaritas terhadap sesama. Maka, dalam hal ini, semua materi buku-buku yang
diajarkannya tentunya harus menyentuh tentang
isu pluralitas. Dari sinilah kemudian kita akan mengerti urgensinya
untuk menyusun bentuk kurikulum pendidikan
agama berbasis pluralisme agama.
DAFTAR PUSTAKA
Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia
(Yogyakarta : Logung Pustaka, 2005).
Choirul
Mahfud, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006.
Victor I. Tanja, Pluralisme Agama dan Problematika Sosial,
( Jakarta: Cisendo, 1998).
Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik, (Jogjakrta:
Sipress, 1994).
[2]
Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hlm.
121
[3]
Ibid, hlm. 143
[4] Victor I. Tanja, Pluralisme Agama dan Problematika Sosial,
( Jakarta: Cisendo, 1998), hal. 89
[5] Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik,
(Jogjakrta: Sipress, 1994), hal.16.
[6] Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia (Yogyakarta
: Logung Pustaka, 2005), hlm.115.
[7] Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia
(Yogyakarta : Logung Pustaka, 2005), hlm.117.
[8] Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia
(Yogyakarta : Logung Pustaka, 2005), hlm.119.
[9] Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia
(Yogyakarta : Logung Pustaka, 2005), hlm.124.
[10] Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia
(Yogyakarta : Logung Pustaka, 2005), hlm.132.
[11] Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia (Yogyakarta
: Logung Pustaka, 2005), hlm.135.
[12] Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia
(Yogyakarta : Logung Pustaka, 2005), hlm.141.
[13] Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia
(Yogyakarta : Logung Pustaka, 2005), hlm.144.
[14] Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia
(Yogyakarta : Logung Pustaka, 2005), hlm.148.
0 komentar:
Posting Komentar