Minggu, 18 September 2011


PENDIDIKAN DAN PLURALISME KEAGAMAAN


A.      Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia merupakan Negara yang majemuk. Kemajemukkannya dapat dilihat dari latar belakang suku bangsa, sosial budaya dan agama yang beraneka ragam. Oleh karena itu, sikap pluralisme harus ditanamkan pada diri setiap individu agar tercipta Negara yang penuh dengan kedamaian dan toleransi yang tinggi.
Pluralisme adalah salah satu bagian dari globalisasi. Dimana telah dijelaskan pada pertemuan sebelumnya bahwa globalisasi adalah wujud dari negara berkembang. Dan Indonesia adalah salah satu negara yang sedang berkembang, dimana Indonesia adalah negara yang  harus mampu bersaing dengan global. Semakin berkembangnya suatu negara tentulah banyak permasalah yang harus dihadapi, seperti permasalah dalam agama yang tidak sesuai dengan perkembangan IPTEK. Sesungguhnya  agama adalah suatu yang penting bagi umat manusia, karena agama sebagai penyeimbang antara IPTEK modern, dimana IPTEK sebagai alat untuk menciptakan masa depan yang majudan agama adalah membentuk moral manusia agar dapat menggunakan IPTEK tersebut menjadi hal yang bermanfaat bagi manusia.
Sikap pluralisme harus ditumbuhkembangkan pada generasi muda kita. Penanaman tersebut dapat dilakukan melaui pendidikan. Pendidikan pluralisme sangat dibutuhkan untuk menciptakan dan memelihara kerukunan antar pemeluk agama. Karena pendidikan diyakini sebagai usaha sadar, terarah, dan disertai dengan pemahaman yang baik untuk menciptakan perubahan-perubahan yang diharapkan pada perilaku jamaah atau komunitas di mana individu itu hidup (Afifi, 1964:163). Kemudian, pertanyaann yang muncul adalah bagaimana bentuk pendidikan yang mampu memberikan kontribusi positif bagi konsep pluralisme?

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan problematika di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana hakikat pendidikan dan pendidikan pluralisme?
2.      Mengapa perlu reformasi pendidikan agama?
3.      Bagaimana implementasi pluralisme dalam pendidikan?

























BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian
Pluralisme berasal dari kata plural yang berarti jamak. Dimana terdapat keanekaragaman di dalam masyarakat. pluralisme adalah keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau kelompok-kelompok kultural dalam suatu masyarakat atau Negara, serta keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan dan sebagainya[1]. Dengan demikian,  makna pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita beraneka ragam, tetapi pluralisme juga harus disertai dengan adanya toleransi terhadap keragaman itu sendiri. Toleransi merupakan sikap atau kemampuan menghormati dan menghargai keyakinan dan perilaku yang dimiliki oleh orang lain.
Yang perlu kita garis bawahi tentang konsep pluralisme adalah sikap saling mengerti, memahami dan menghormati adanya perbedaan-perbedaan. Dan dalam bergaul dengan pemeluk agama lain, seseorang harus memiliki komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing. Sikap pluralisme tersebut harus ditanamkan pada generasi muda agar tercipta generasi-generasi muda yang pluralis. Penanaman itu dapat dilakukan melalui instansi-instansi seperti sekolah, dan sebagainya.
B.       Contoh Kasus Pluralisme di Indonesia
1.      Potret Konflik Etnis di Indonesia
Sejak republik ini terbentuk, catatan kekerasan dan konflik semakin meningkat. Salah satu kasus tersebut adalah konflik antara warga Dayak dan Madura di Sampit, Kalimantan Tengah, yang berkembang menjadi konflik antaretnis. Dalam waktu seminggu, jumlah korban yang tewas dari etnis Madura tercatat 315 orang. Konflik Sampit telah menambah panjang daftar konflik yang bernuansa SARA di tanah air.
Konflik antarwarga Dayak dengan warga Madura yang terjadi tanggal 18 Februari di kota Sampit, ibu kota Kabupaten Waringin Timur, Kalimantan Tengah, berkembang menjadi kerusuhan antaretnis. Pelaku dan daerah konflik bertambah luas, hingga menjangkau ke daerah lain seperti Kuala Kapuas, Pangkalan Bun, bahkan Palangkaraya.
Kerusuhan Sampit dipicu oleh ulah dua orang pejabat yang takut kehilangan jabatannya. Mereka adalah Fedlik dan Lewis yang sehari-harinya menjabat di Dinas Kehutanan dan Kantor Bappeda. Target mereka berusaha menggagalkan pelantikan 10 pejabat eselon I, II dan III untuk mengisi struktur baru otonomi daerah, pada 19 Februari. Fedlik dan Lewis tak terima pelantikan tersebut, karena semua pejabat yang akan dilantik beragama Islam.[2]
2.      Potret Kelompok Etnik Jawa Timur di Era Otonomi Daerah
Potret dinamika kelompok etnik di Jawa Timur dalam era otonomi daerah, menarik untuk dikemukakan. Memperbincangkan eksistensi kelompok etnik di Jawa Timur dalam era otonomi daerah menjadi menarik karena beberapa alasan. Pertama, Propinsi Jawa Timur merupakan salah satu Propinsi di Pulau Jawa yang cukup beragam kebudayaannya.kedua, keberagaman kelompok etnik dan kebudayaannya pada satu sisi dapat menjadi modal pembangunan yang berharga. Ketiga, selama orde baru tidak semua kelompok etnik memiliki akses yang setara dalam proses-proses politik dan ekonomi daerah. Keempat, pandangan ahli-ahli ekonomi dan politik bahwa dengan membangun kemajuan ekonomi secara pragmatis dan sistem politik yang demokratis akan dengan sendirinya menghapuskan persoalan-persoalan etnisitas ternyata tidak sepenuhnya benar. Kelima, era otonomi daerah telah berimplikasi pada pengakuan negara atas keberagaman kelompok etnik dan kebudayaannya.[3]   

C.      Dalil yang Berkaitan Dengan Pluralisme
1.      “Aku diutus oleh Tuhan dengan membawa agama yang penuh kecenderungan dan toleransi”. (HR. Ahmad ibnu Abbas)
2.      “Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”. (QS. Al-Kafirun : 6)  

D.      Hakikat Pendidikan dan Pendidikan Pluralisme
1.      Hakikat Pendidikan
Pendidikan menurut Ahmad sanusi sebagai abad sumber daya manusia, karena pada masa ini manusia dituntut untuk meningkatkan keimanan, ketaqwaan atau meningkatkan kecerdasan baik dalam IQ dan EQ nya, baik dalam individu maupun organisasi/masyarakat.
Sehubungan dengan hal tersebut, tentulah istilah pendidikan perlu adanya penyegaran atau redefinisi. Karena pendidikan memiliki makna ganda. Menurut M.D Dahlan arti pendidikan sendiri adalahl: a) suatu lembaga pendidikan yang mencakup semua kegiatan yang harus ada dalam lembaga pendidikan seperti Taman Kanak-Kanak, Sekolah, Perguruan Tinggi dan akademisi, b) suatu sistem pembelajaran yang berkenaan dengan ketrampilan tertentu atau pelatihan di lokasi tertentu, c) Pelatihan  tingkah laku tertentu yang harus dimiliki oleh siswa, d) Proses penanaman sikap, keyakinan dan nilai tertentu yang diperoleh melalui berbagai kegiatan sosial di sekolah.
Sedangkan menurut John Dewey pendidikan dapat diartikan menjadi 2 yaitu dari segi filosofis dan praktis:
a.       Pendidikan dalam arti filosofis adalah sebagai alat untuk memecahkan permasalahan-permasalah kependidikan dalam menyusun teori-teori berdasarkan pemikiran normatif, spekulatif, rasional, empirik, rasional filosofis, mapun historis filosofis.
b.      Dalam arti praktik, pendidikan adalah proses pentrasferan pengetahhuan atau pengembangan potensi-potensi yang dimiliki siswa untuk mencapai perkembangan secara optimal dan mendayagunakan manusia melalui proses transformasi nilai-nilai yang utama.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa hakikat pendidikan adalah untuk transfer of knowledge dan transfer of value. Dimana seorang yang mencari pendidikan mampu memperoleh pengetahuan dan mendidik dalam berperilaku atau membawa anak untuk berperilaku ke arah dewasa.
2.      Hakikat Pendidikan Pluralisme
Hakikat pendidikan pluralisme keagamaan hampirlah sama dengan hakikat pendidikaan yaitu untuk memperoleh humanisai dan hominisasi atau memperoleh transfer of knowlegde dan transfer of value. Tetapi pendidikan pluralisme keagaman lebih di pengaruhi oleh agama, maksudnya adalah pendidikan itu sangat berkaitan dengan agama.
Seperti yang dapat lihat pada era globalisasi ini, bahwa perkembangan ilmu penegtahuan haruslah selaras dengan agama, karena agama berfungsi sebagai landasan spiritual untuk membangun kesadaran dan memberi pengetahuan bahwa seluruh hasil pengetahuan harus diarahkan untuk membentuk suatu masyarakat yang berpengetahuan dan bermoral.[4]
Inginnya suatu masyarakat pada era globalisasi ini kembali berpegang pada agama pun menimmbulkan akibat positif dan negatif, akibat positifnya adalah masyarakat kembali mempelajari agama baik pada kalangan mayarakat menengah kebawah maupun kalangan modern. Sedangkan akibat negatifnya adalah terdapat sekelompok kecil masyarakat yang membentuk suatu gerakan yang fundamentalis.[5]

E.       Reformasi Pendidikan Agama (Dari Eksklusifme Menuju Pluralisme)
Wajah Pendidikan Agama di Era Orde Baru : Sebuah Refleksi
Merebaknya aksi-aksi kekerasan, seperti pembunuhan, pemerkosaan, pembakaran, pengrusakan fasilitas-fasilitas umum, dan tawuran antarpelajar, ditambah lagi konflik antarumat beragama dan etnis beberapa tahun silam serta tumbuh suburnya budaya korupsi dan KKN hingga saat ini, semuanya telah membuktikan kebenaran statement telah gagalnya fungsi pendidikan agama untuk mentransmisikan nilai-nilai kebaikan pada bangsa Indonesia.
Telah diakui banyak pakar, kegagalan pendidikan agama dalam mentansfer nilai-nilai kebajikan yang diharapkan semua pihak, disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya pertama, dikarenakan sistem pendidikannya yang masih bersifat ideologis-otoriter. Kedua, pendidikan agama hanya diajarkan secara literer formalistik sehingga wawasan pluralisme yang menjadi realitas masyarakat kita tidak tampak sama sekali. Ketiga, materi ajarnya diajarkan secara terpisah-pisah, tidak memenuhi sifat-sifat integrality, holistic wholistic, continuity, dan consistensy sehingga materi ajar lepas dari nilai-nilai agama dan hanya mampu mengembangkan kecerdasan akal dan tidak menyentuh pengembangan kecerdasan emosi dan spiritual.[6] Lebih mengerikan lagi, pendidikan agama hanya mengedepankan verbalitas daripada substansi nilai. Ini semua adalah sistem dan praksis pendidikan yang telah menghiasi wajah pendidikan agama kita selama Orde Baru.
Berbicara tentang carut-marutnya pendidikan di tanah air, maka tidak dapat dihindari perdebatan mengenai sistem pendidikan nasional Indonesia, di samping faktor-faktor lain yang sifatnya lebih pada masalah-masalah praktis pendidikan. Dengan kata lain, meminjam bahasanya Bastian yakni penyebab dari segala sebab-sebab utama bagi timbulnya ketidak beresan proses pelaksanaan pendidikan di suatu negara sangat dipengaruhi oleh sistem apa yang digunakan.
Adapun sistem pendidikan yang telah diterapkan Orde Baru adalah sistem pendidikan nasional Indonesia yang mensyaratkan bagi sistem yang bersifat sentral atau terpusat dan sistem yang dilandasi oleh tindakan penyeragaman atau uniformitas. Sistem keseragaman dalam pendidikan sepeti ini diakui oleh Prof. Dr. H.A.R. Tilar, seorang pakar pendidikan Indonesia, dengan mengatakan bahwa “di dalam bidang politik segala sesuatu diarahkan kepada uniformitas atau keseragaman di dalam berpikir dan bertindak. Pakaian seragam, wadah-wadah tunggal dari organisasi-organisasi sosial masyarakat yang homogen. Stabilitas politik dan keamanan merupakan ajaran utama untuk mencapai perkembangan ekonomi yang tinggi.
Akibatnya ialah berkembangnya kelas menengah yang lamban dan lemah, yang tidak kreatif dan produktif, dan diarahkan pada birokrasi yang kaku. Sejalan dengan ini tantangan politik dan sosial yang sangat homogen telah mematikan kehidupan demokrasi.[7]
Keadaan kehidupan sosial politik, hukum, dan kebudayaan seperti itu juga tercermin di dalam sistem pendidikan nasional yang semata-mata hanya untuk mencapai target kuantitatif. Toleransi hidup bersama dalam kebhinnekaan semakin berkurang bahkan perbedaan-perbedaan semakin dipertajam dengan berbagai bentuk primordialisme yang terbuka atau yang ditutup-tutupi. Bukti yang dapat memperkuat argumentasi ini adalah dengan lahirnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang dikenal dengan sebutan UU No.2 Tahun 1989. UU pendidikan ini bisa dikatakan sebagai bentuk UU yang terlalu politis dan penuh dengan “muatan”, sehingga telah mematikan daya kreasi dan kreativitas masyarakat pendidikan.
Harus disadari bahwa perumusan UU No.2 Tahun 1989 yang lebih memilih pendidikan yang terpusat dan seragam tersebut, karena memang alasan sejarah Indonesia yang memungkinkan bagi terbitnya undang-undang yang demikian. Fakta seperti ini dibenarkan oleh Aulia Reza Bastian, menurutnya “alasan sejarah dan latar belakang sosial, budaya dan agama yang beragama dari bangsa Indonesia tidak diterjemahkan sebagai peluang tetapi hanya dipandang sebagai tantangan dan kendala. Kondisi geografis dan keberagamaan dianggap sebagai ancaman bagi timbulnya disintegrasi bangsa, apalagi setelah timbulnya prahara politik tahun 1965 dengan munculnya pemberontakan Partai Komunis Indonesia pada saat itu.
Alasan sejarah dan latar belakang yang demikianlah yang menjadi landasan berpikir dalam penyusunan sistem pendidikan nasional. Kondisi ini, masih kata Bastian, juga ditambah dengan alasan-alasan politis yang sebenarnya jauh dari nilai-nilai ideal pendidikan, yaitu sebagai suatu usaha untuk melestarikan ideologi. Pada tahapan ini, pendidikan Indonesia sudah menjadi alat yang sistematis bagi pemerintah untuk melestarikan dan menyelamatkan negara dan bangsa. Tujuan pendidikan nasional menjadi perwujudan dari tujuan kebijakan politik.
Penyelenggaraan sistem pendidikan, pada saat Orba banyak disetir oleh political will. Artinya seluruh sistem pendidikan mengacu pada kecenderungan politis. Para penguasa terlalu banyak mencampuri dan “mengarahkan” sistem pendidikan ini, sehingga apa yang disebut filsafat pendidikan nyaris tidak terefleksikan dalam setiap tindak pendidikan maupun pembelajaran. Sistem pendidikan, ataupun mungkin lebih sempit dari itu: sistem persekolahan, terlalu banyak digunakan sebagai vehicle untuk transmisi sosial membangun kehidupan bersama dan menomorduakan kebhinnekaan demi keekaan, konvergensi, dan kesamaan tujuan pembangunan.[8]
Pengalaman terpenting yang dapat kita ambil tentang bahayanya politisasi pendidikan tersebut adalah pengalaman pendidikan agama selama Orde Baru, yang telah menghantarkan seluruh bangsa Indonesia menuju konflik kekerasan yang tidak kondusif bagi hubungan antaragama. Bagaimana agama-agama pada saat itu tidak memiliki kekuatan untuk mengerem agar tidak terjebak dalam “permainan” yang dikemas oleh kekuasaan, sehingga agama kehilangan daya kritis dan pembebasan. Yang tersisa dari agama-agama dalam sejarah Orde Baru adalah agama yang menjadi justifikasi atas keputusan rezim politik.
Pembelajaran dalam sistem “pendidikan Islam” dan pendidikan pada umumnya, pada era Orde Baru, memang tidak memberikan ruang bagi siswa berbeda pendapat dengan guru dan orang tua, atau dengan temannya. Karena itu, menurut Abdul Munir Mulkhan, pendidikan Islam lebih merupakan indoktrinasi tunggal tentang kebenaran yang tak mungkin dibantah. Ruangan kelas bagaikan sebuah “penjara” tanpa peluang kreatif. Karena memang pada saat Orba, akrab di telinga kita istilah pembangunan manusia seutuhnya, tetapi realitas yang ada adalah pembodohan dan pemasungan kreativitas, serta pengebirian kebebasan akademik. Politik semestinya menjadi hak setiap individu direduksi dengan kebijaksanaan depolitisasi pendidikan. Dengan sendirinya hakikat pendidikan menjadi tidak utuh dan telah kehilangan ruhnya. Proses belajar yang berjalan kering dengan kebebasan mengekspresikan diri dan berbeda pendapat, dalam rangka mencari kebenaran.
Dengan situasi yang seperti itu, agama yang diharapkan memiliki peran strategis dalam merespons masalah-masalah sosial kemanusiaan yang terjadi di masyarakat akhirnya mandul. Rezim Orde Baru telah berhasil dengan sempurna menciptakan masyarakat agamis yang kerdil. Bahkan dapat dikatakan, agama di bawah rezim Orde Baru telah berhasil menciptakan manusia-manusia bermoral-etik, kecuali kerakusan akan kekuasaan dan manipulasi religius. Landasan untuk saling bersaudara, berdialog, dan bekerja sama terputus.
Kegagalan pendidikan agama di Era Orde Baru, seharusnya mampu memberikan penyadaran bagi bangsa yang telah didera multi krisis ini. Marilah kita sebagai anak bangsa melakukan refleksi, atas kegagalan itu. Refleksi ini penting agar pada masa-masa yang akan datang kita tidak terjebak pada lubang yang sama, yaitu terpuruk dalam kediktatoran penguasa yang membawa kita ke kebangkrutan.
Ada enam pilar pembelajaran pendidikan yang direkomendasikan oleh UNESCO di abad mendatang.[9] Keenam pilar itu, sesungguhnya merupakan nilai yang terkandung dalam ajaran agama yang ada di Indonesia. Keenam pilar tersebut, antara lain:
  1. Learning to Know
“L to K” yang dimaksudkan di sini adalah bukan sebatas mengetahui dan memiliki materi informasi sebanyak-banyaknya, menyimpan dan mengingat selama-lamanya dengan setepat-tepatnya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan yang telah diberikan, tetapi kemampuan memahami makna di balik materi ajar yang telah diterimanya. Dengan “L to K” diharapkan mampu menuntun calon ilmuwan untuk dapat memahami hubungan antara ilmu dengan keyakinan agama yang dipeluknya.
  1. Learning to Do
“L to D” merupakan konsekuensi logis dari “L to K”. Kelemahan model pendidikan dan pengajaran kita selama ini adalah mengajarkan “omong” dan kurang menuntun orang untuk “berbuat”. Yang dimaksud dengan “L to D” bukanlah kemampuan berbuat yang mekanis dan pertukangan tanpa pemikiran, tetapi action in thinking dan learning by doing. Dengan demikian, peserta didik akan terus belajar bagaimana memperbaiki dan menumbuhkembangkan kerja, juga bagaimana mengembangkan teori atau konsep intelektualitasnya.
  1. Learning to Be
Melengkapi kedua “learning” diatas, “L to Be” akan menuntun peserta didik menjadi ilmuwan sehingga mampu menggali dan menentukan nilai kehidupannya sendiri dalam hidup bermasyarakat sebagai hasil belajarnya.
  1. Learning to Live Together
“L to L T” ini merupakan kelanjutan yang tidak dapat dielakkan dari ketiga poin diatas. Oleh karena itu, “L to L T” ini menuntun seseorang untuk hidup bermasyarakat dan menjadi educated person yang bermanfaat baik bagi diri dan masyarakatnya, maupun bagi seluruh umat manusia sebagai amalan agamanya.


  1. Learn How to Learn
“L to L” ini menuntun peserta didik agar mampu mengembangkan strategi dan kiat belajar yang lebih independen, kreatif, inovatif, efektif efisien, dan penuh percaya diri, karena masyarakat baru adalah learning society atau knowledge society dan orang yang mampu menduduki posisi sosial yang tinggi dan penting/terhormat adalah mereka yang mampu belajar lebih lanjut. Mereke inilah yang disebut educated person.
“L to L” memerlukan metode pembelajaran baru, yaitu pergeseran model belajar “memiliki” (menghafal) menjadi model belajar “menjadi” (mencari/meneliti).
  1. Learning Throughout Life
“L to L” ini menuntun dan memberi pencerahan kepada peserta didik bahwa ilmu bukanlah hasil buatan manusia, tetapi ilmu adalah hasil temuan atau hasil pencarian manusia. Karena ilmu adalah ilmu Tuhan yang tidak terbatas dan harus dicari, maka upaya mencari juga tidak mengenal berhenti.
Bertolak dari butir-butir tersebut, gagasan paradigma baru pendidikan Indonesia dalam abad mendatang adalah: Pertama, “Ubah dan kembangkan paradigma lama menjadi paradigma baru. Tinggalkan yang sudah tidak sesuai dengan tuntutan era informasi dan demokrasi. Kembangkan nilai-nilai lama yang sekiranya masih dapat dimanfaatkan, dan diciptakan pandangan baru yang sesuai dengan kebutuhan/tantangan zamannya. Pendidikan masa depan adalah pendidikan yang didasarkan kepada kebudayaan lokal dan nasional, menuju terwujudnya suatu masyarakat dunia yang damai. Kedua, perlunya perubahan metode penyampaian materi pendidikan. Kita perlu lebih menfokuskan program pendidikan yang menghasilkan manusia-manusia kreatif, memiliki budi pekerti, serta pengembangan integritas, kemandirian, dan profesionalisme. Ketiga, paradigma pendidikan agama (termasuk Islam) yang masih eksklusif, dikotomis, dan parsial harus diubah menuju pendidikan yang inklusif, integralistik, dan holistik.

F.     Pendidikan Integral: Sebuah Upaya Humanisasi Pendidikan
Selama Orde Baru proses pendidikan telah dilacurkan sebagai proses indoktrinasi serta telah membatasi kebudayaan hanya pada aspek intelektual semata-mata. Pendidikan lebih diorientasikan demi pemenuhan aspek kognitif dan melupakan aspek afektif dan psikomotorik. Hasilnya, seperti telah kita saksikan bersama, ialah manusia yang dikuasai oleh nilai-nilai keserekahan, kekerasan, dan tumpulnya rasa kemanusiaan.
 Padahal pendidikan yang baik, mengutip pendapatnya Hasan Langgulung, adalah pendidikan yang mampu memberi sumbangan pada semua bidang pertumbuhan individu, yaitu bidang akal, psikologis, dan spiritual atau moral.[10] Dalam bidang pertumbuhan akal (intellectual) pendidikan dapat menolong individu untuk meningkatkan, mengembangkan, dan menumbuhkan kesediaan, bakat-bakat, minat, dan kemampuan-kemampuan akalnya dan memberinya pengetahuan dan keterampilan akal yang perlu dalam hidupnya. Dalam bidang-bidang  pertumbuhan psikologis, pendidikan melalui berbagai medianya dapat menolong individu mendidik dan menghaluskan perasaannya dan mengarahkannya ke arah yang diingini dimana ia menjadi kekuatan dan motivasi-motivasi ke arah kebaikan dan kerja yang membina dan berhasil yang dapat mencapai kemaslahatannya dan kemaslahatan masyarakat dimana ia hidup. Dalam bidang pertumbuhan spiritual dan moral, pendidikan yang baik dapat menolong individu menguatkan iman, akidah, dan pengetahuannya terhadap Tuhannya dan dengan hukum-hukum, ajaran-ajaran, dan moral agamanya.
Terpenuhinya ketiga aspek manusia seperti tersebut dalam pendidikan, terutama sekali dalam pendidikan agama, adalah merupakan tantangan besar bagi bangsa Indonesia pasca-Reformasi. Agenda terpenting masa depan adalah tumbuhnya elite generasi baru yang lebih arif dan manusiawi. Manusia yang mempunyai kecerdasan yang tinggi sekaligus “tanggap” terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan. Gambaran manusia seperti ini bisa kita sebut sebagai manusia yang memiliki kepribadian integratif, karena di dalam dirinya dapat merasakan keseimbangan diantara keinginan, hati, dan perhitungan nalarnya. Manusia-manusia seperti inilah yang kita harapkan mampu menjadi pemimpin bangsa, agar bangsa yang masih sakit ini, dapat segera kelur dari krisis yang masih melilitnya –bukannya manusia-manusia cerdas tetapi suka korupsi dan menjarah uang rakyat. Dari sinilah pendidikan penting dikembangkan sebagai proyek humanisasi.
Dari katanya saja sudah jelas,”Humanisasi berarti proses membawa dan mengarahkan para peserta didik ke arah pendewasaan diri hingga punya mentalitas sangat manusiawi”, demikian kata Prof.Dr.N.Driyarkara. Selain itu, humanisasi pendidikan dapat pula diartikan sebagai sebuah usaha mengembalikan pendidikan pada fitrahnya, dan pendidikan yang memasukkan “prinsip-prinsip tentang manusia” kedalam filsafat pendidikannya.[11] Ki Hadjar Dewantara juga berpendapat, bahwa salah satu konsepsi pendidikan adalah sebagai proses memerdekakan manusia. Manusia merdeka adalah manusia kolektif, manusia yang selalu sadar bahwa dirinya adalah anggota masyarakat yang harus melakukan kewajiban-kewajiban yang diletakkan oleh masyarakat kepadanya.
Pendidikan yang membebaskan benar-benar dapat menjadikan manusia menjadi manusia. Sebab, dilihat dari aspek tujuannya, pendidikan yang membebaskan adalah sebuah sistem pendidikan yang menyempurnakan proses pemecahan masalah secara ilmiah, mengedepankan penyelidikan tertentu yang bisa memberi hasil pengetahuan objektif (yang lebih efektif dan lebih bisa dipercaya). Akan tetapi, yang perlu diperhatikan, tujuan pendidikan yang membebaskan seperti itu, harus menggunakan kurikulum atau pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Sebab, kegagalan memilih pendekatan yang sesuai dapat mengarah pada hasil yang tidak diharapkan, yakni tidak tercapainya keseimbangan dan keselarasan aspek-aspek kepribadian. Pedekatan holistik yang dilaksanakan dengan menggabungkan dan memadukan sebanyak mungkin subjek pelajaran. Adapun butir-butir yang dapat dilakukan sebagai pedoman untuk mengembangkan kurikulum yang ada dengan pendekatan holistik, antara lain adalah sebagai berikut: Pertama, melakukan analisis terhadap kebutuhan dan kondisi peserta didik. Kedua, menghubungkan materi yang diajarkan dengan pengalaman nyata. Ketiga, memberi kesempatan pada mahasiswa atau peserta didik untuk mengalami sendiri secara langsung. Dengan demikian, untuk menyeimbangkan dan menyelaraskan material dan spiritual, individual dan sosial serta terintegrasinya dalam diri mahasiswa atau peserta didik seperti sikap menghormati dan menolong orang lain (sebagai salah satu ciri manusia pluralis) akan terwujud.

G.    Menuju Ke Arah Pendidikan Nilai
Tujuan akhir yang menjadi dambaan setiap orang tua menyekolahkan anaknya seharusnya patut diperhatikan oleh setiap lembaga pendidikan. Mesipun juga harus disadari bahwa untuk mencetak manusia “ideal” yang memiliki kepribadian yang sosial dan religius, bukan semata-mata tanggung jawab sekolah, melainkan harus didukung semua komponen, termasuk di dalamnya orang tua dan lingkungan. Namun demikian, sudah menjadi tanggung jawab sekolah untuk memprogram dan merancang sistem pendidikan seperti yang diharapkan tersebut. Yaitu, sistem pendidikan dari segi tujuan, materi pendidikan, dan praktiknya selalu dikaitkan dengan nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan yang universal.[12]
Demi mendukung tercapainya sistem pendidikan tersebut, maka pendidikan estetislah yang sepatutnya dijadikan fundamen. Mengapa pendidikan estetika penting? Kata Louis O. Kattsoff dalam bukunya Elements of Philosophy, pernah berbicara sedikit mengenai kebenaran dan kebaikan, dengan cepat akan terinagat kepada istilah ketiga dalam ketritunggalan yang sudah terkenal—keindahan. Epistemologi bersangkutan dengan teori kebenaran, dan etika berkaitan dengan teori mengenai kebaikan ditinjau dari segi kesusilaan. Istilah aksiologi dipakai untuk memberikan batasan pengertian terhadap penyelidikan mengenai kebaikan pada umumnya. Sedangkan bagi penyelidikan mengenai hakikat keindahan dinamakan “estetika”. Estetika inilah yang sering mempersoalkan teori-teori mengenai seni. Dan kita tahu, seni merupakan kegiatan kejiwaan, hakikat seni diletakkan pada institusi serta perasaan seseorang. Sehingga seseorang yang diajari tentang seni, maka dampak yang akan muncul adalah perubahan-perubahan kepribadian seseorang yang memiliki perasaan, penghayatan, dan kepekaan. Jadi, pendidikan estetika sangatlah urgen demi kehormatan pribadi peserta didik.
Selain pentingnya pendidikan estetika, pendidikan harus tidak melepaskan dari nilai-nilai akhlak atau sering disebut etika. Karena salah satu fungsi pendidikan adalah menumbuhkan nilai kebaikan pada peserta didik. Budi pekerti dalam pendidikan penting dan budi pekerti itu menentukan beradab atau tidaknya manusia. Pendidikan yang tidak mengajarkan akhlak hanya akan melahirkan manusia buaya tapi tidak berbudaya, cerdas tapi beringas seperti hewan, dan akhirnya menjadi manusia yang teralienasi dari sesama dan Tuhannya.
Melihat pentingnya pendidikan akhlak bagi anak, maka perubahan muatan-muatan kurikulum akhlak termasuk juga aspek pendekatan dalam pengajarannya mutlak diperlukan. Hal ini mengingat pendidikan akhlak selama Orba masih mengembangkan model doktriner-dogmatikal, bukan pendidikan yang komunikatif-transformatif.
Adapun beberapa kemungkinan pendekatan yang bisa dikembangkan dalam rangka mengajarkan akidah akhlak, Zuli Qodir dalam Afkar, telah menawarkan beberapa pendekatan sebagai berikut: [13]
1.      Pendekatan historis. Pendekatan ini mengandaikan bahwa materi akidah akhlak diajarkan kepada siswa dengan menengok kembali ke belakang, maksudnya adalah agar anak didik mempunyai kerangka berpikir yang komplet sampai ke belakang untuk kemudian merefleksikan untuk mas sekarang dan mendatang.
2.      Pendekatan sosiologis. Pendekatan sosiologis ini mengandaikan terjadinya proses “kontekstualisasi” atas apa yang pernah terjadi di masa sebelumnya, atau datangnya di masa lampau.
3.      Pendekatan kultural. Pendekatan kultural merupakan pendekatan dalam pendidikan akidah-akhlak yang menekankan pada aspek autentisitas dan tradisi yang berkembang.
4.      Pendekatan psikologis. Pendekatan pelajaran akhlak secara psikologis merupakan pendekatan yang memerhatikan situasi psikologi orang per orang secara tersendiri dan mandiri. Artinya, masing-masing siswa dilihat sebagai manusia mandiri dan unik dengan karakter dan kemampuan yang dimilikinya.
5.      Pendekatan estetik. Pendekatan dalam pembelajaran akidah-akhlak secara estetik sebenarnya akan menjadikan siswa memiliki sifat-sifat yang santun, damai, ramah, dan mencintai keindahan. Karena dalam perspektif ini pelajaran akidah akhlak tidak didekati secara doktrinal yang cenderung menekankan adanya otoritas-otoritas kebenaran agama tertentu, tetapi lebih apresiatif terhadap gejala-gejala yang terjadi di tengah masyarakat yang dilihat sebagai bagian dari dinamika hidup yang bernilai seni estetik.
6.      Pendekatan perspektif gender. Pendekatan ini sebenarnya merupakan pendekatan dalam pengajaran akidah akhlak yang tidak membeda-bedakan jenis kelamin karena sebenarnya soal jenis kelamin bukan penghalang bagi seseorang untuk mencapai kesuksesan dalam belajar.

Semua pendekatan tersebut, tampaknya bisa disebut sebagai pendekatan integratif antara sistem pendidikan dan nilai-nilai akhlak yang menjadi spirit dan ruh yang melandasinya. Dari sinilah pendidikan yang menuju ke arah nilai etika dan estetika melalui pelajaran akhlak sangat urgen untuk diterapkan, agar cita-cita untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya bisa terealisasi. Yaitu bentuk manusia cerdas, yang dapat menyadari sepenuhnya pentingnya kejujuran moral, keterbukaan, keadilan, dan saling ketergantungan satu sama lain melalui kerja sama. Inilah manusia yang dalam dirinya memiliki kecerdasan akal, kecerdasan emosi, spiritual, dan agama sekaligus sebagai satu kesatuan yang utuh.

H.    Langkah-Langkah Ke Arah Pendidikan Transformatif
Pendidikan yang mematikan kreativitas, memenjarakan peserta didik untuk selalu patuh dan mengikuti aturan-aturan yang diterapkan oleh penguasa adalah bentuk-bentuk pendidikan yang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Apalagi dalam era reformasi ini, kurikulum uniform, sistem belajar mengajar yang indoktriner dan menghafal, tidak pada tempatnya lagi, alias ketinggalan zaman. Sistem pendidikan pada saat ini, meminjam bahasanya H.A.R.Tilar, adalah sistem pendidikan yang berorientasi pada kemandirian siswa.[14]
Dalam pendidikan seperti itu, yang perlu dikuasai oleh siswa adalah informasi yang telah diolah sendiri atau belajar mandiri. Peserta didik harus dapat mencari informasi yang diperlukan dengan tuntutan guru bila diperlukan. Kemajuan ilmu pengetahuan telah merupakan hasil kerja sama dari bermacam kepakaran atau ahli. Oleh sebab itu, bekerja sama dalam belajar dan kemudian dalam penelitian merupakan suatu bentuk kelakuan yang perlu dikembangkan dan dipupuk. Kurikulumnya, dengan demikian, harus berorientasi pada kepentingan anak didik, pasar, dan pengembangan ilmu.
Selain materi, metodologi proses belajar mengajar perlu diganti dengan model “menjadi” dimana anak didik sendiri yang mencari dan menemukan ilmu pengetahuan dalam perspektif menuju kedewasaannya, mengembangkan jati diri kepribadiannya. Selanjutnya, proses pembelajarannya harus bersifat horizontal, bukannya menggunakan sistem penyampaian. Evaluasi belajarnya lebih memiliki peran diagnostik, yang mempunyai nilai supaya peningkatan perbaikan belajar siswa daripada untuk ukuran kepuasan guru atau penguasa. Proses pembelajaran perlu menghindari terjadinya mekanisme (1) preskriptif dan (2) transfer pengetahuan, tetapi digeser ke arah (1) dialogik dan (2) transformasional, yang menurut Paulo Freire, sebagai perwujudan dari pendidikan yang membebaskan, sehingga siswa akan merasakan manfaatnya ia belajar.
Sistem pendidikan yang berorientasikan pada kemandirian siswa inilah yang oleh Ki Hadjar Dewantara, disebut dengan sistem Among, berarti memberikan kesempatan berkembang pada tiap anak menurut bakat dan perhatiannya, kesempatan mengembangkan daya ciptanya dan swadayanya, sekolah menurut sistem ini harus dilengkapi dengan ruangan-ruangan untuk menyelenggarakan rapat-rapat,diskusi, perpustakaan, laboratorium, berbagai sanggar (studio) seni lukis, seni pahat, musik, dan sebagainya. Konsepsi pendidikan semacam itu, oleh Darmaningtyas, dikategorikan sebagai pendidikan transformatif, yaitu “model pendidikan yang bersifat kooperatif terhadap segenap kemampuan anak untuk menuju proses berpikir yang lebih bebas dan kreatif. Model pendidikan ini menghargai potensi yang ada pada setiap individu.
Dengan begitu tujuan akhir pendidikan transformatif adalah dimilikinya pengetahuan kritis oleh peserta didik. Pengetahuan kritis ini memungkinkan peserta didik untuk dapat memberikan partisipasi dan kontribusinya dalam menyelesaikan problem-problem sosial yang muncul. Sebab, pengetahuan seperti ini mendasarkan diri pada pemikiran subjektif, pemihakan terhadap nilai, dan mengakui adanya kesadaran dalam proses membangun teori.
Dalam pelaksanaannya, siswa diajak untuk memahami realitas hidupnya, mulai dari yang konkret sampai dengan yang abstrak. Sikap yang terlalu kritis terhadap sesuatu yang baru, dan toleran terhadap hal-hal yang tidak diyakini akan merangsang tumbuhnya kepekaan sosial dan rasa keadilan. Sikap-sikap seperti inilah yang sangat ditunggu-tunggu dari bangsa ini untuk dapat mengatasi kemelut sosial budaya, politik, dan ekonomi.
Harus disadari, bahwa pluralitas masyarakat Indonesia adalah sebuah realitas. Kemajemukan bangsa Indonesia pada saat ini sedang mengalami beberapa ujian, termasuk diantaranya adalah konflik berkepanjangan bernuansa SARA. Maka melalui pendidikan transformatif inilah peserta didik dapat diberdayakan agar dapat menghadapi dan menyelesaikan konflik dengan cara kreatif dan menghindarkan diri dari cara kekerasan. Pemberdayaan masyarakat ini tidak terlepas dari kebiasaan perilaku mereka di sekolah atau dalam pendidikan. Membiasakan siswa melalui belajar kelompok, kebiasaan mandiri, berinisiatif, produktif, berencana, tuntas, kreatif, sabar, jujur, terbuka atau ciri-ciri pendidikan transformatif lainnya, dapat memberdayakan mereka terbiasa hidup dalam konflik dan terlatih memecahkan konflik itu.
Seandainya pendidikan di Indonesia masa depan mau mengimplementasikan semua langkah-langkah menuju ke arah pendidikan transformatif seperti itu, maka pendidikan di Indonesia akan mampu membawa dan mengembangkan semua potensi daya manusia Indonesia menuju ke arah kedewasaan, sehingga mereka akan mampu hidup mandiri dan mampu pula mengembangkan tata kehidupan bersama yang lebih baik sesuai dengan tantangan atau kebutuhan zamannya. Pendidikan akan mampu mengembangkan harkat dan martabat manusia sekaligus mampu memanusiakan mereka sebagai manusia sehingga benar-benar mampu manjadi khalifah di muka bumi.

I.         Implikasi Pluralisme dalam Pendidikan
Dengan menyadari bahwa masyarakat kita terdiri dari banyak suku dan beberapa agama, jadi sangat pluralis. Maka, pencarian bentuk pendidikan alternatif mutlak diperlukan. Yaitu suatu bentuk pendidikan yang berusaha menjaga kebudayaan suatu masyarakat dan memindahkanya kepada generasi berikutnya, menumbuhkan akan tata nilai, memupuk persahabatan antara siswa yang beraneka ragam suku, ras, dan agama, mengembangkan sikap saling memahami, serta mengerjakan keterbukaan dan dialog. Bentuk pendidikan seperti inilah yang banyak ditawarkan oleh “banyak ahli” dalam rangka mengantisipasi konflik keagamaan dan menuju perdamaian abadi, yang kemudian terkenal dengan sebutan “pendidikan pluralisme”.
Apakah sebenarnya pendidikan pluralisme itu? Kalau kita melacak referensi tentang pendidikan pluralisme, banyak sekali literatur mengenai pendidikan tersebut atau sering dikenal orang dengan sebutan “pendidikan multikultural”. Namun literatur-literatur tersebut menunjukkan adanya keragaman dalam pengertian istilah. Sleeter mengartikan pendidikan multikultural sebagai any set of proces by which schools work with rather than against oppressed group.  Banks, dalam bukunya Multicultural education: historical development, dimension, and practice (1993) menyatakan bahwa meskipun tidak ada konsensus tentang itu ia berkesimpulan bahwa di antara banyak pengertian tersebut maka yang dominan adalah pengertian pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color.
Lebih jelasnya, menariklah kalau kita memperhatikan suatu defenisi tentang  pendidikan pluralisme yang disampaikan Frans Magnez Suseno, yaitu suatu pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama kita sehingga kita mampu melihat “kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga yang memiliki baik perbedaan maupun kesamaan cita-cita. Inilah pendidikan akan nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan, dan solidaritas.
Senada dengan itu, Ainurrofiq Dawam menjelaskan defenisi pendidikan multikultural sebagai proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas  dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi  keragaman budaya etnis, suku, dan aliran (agama). Pengertian pendidikan multikultural yang demikian, tentu mempunyai implikasi yang sangat luas dalam pendidikan. Karena pendidikan itu sendiri secara umum dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia darimana pun dia datangnya dan berbudaya apa pun dia. Harapanya, sekilas adalah terciptanya kedamaian yang sejati, keamanan yang tidak dihantui kecemasan, kesejahteraan  yang tidak dihantui manipulasi, dan kebahagiaan yang terlepas dari jaring-jaring manipulasi rekayasa sosial.
Muhammad Ali menyebut pendidikan yang berorientasi pada proses penyadaran yang berwawasan pluralis secara agama sekaligus berwawasan multikultural, seperti itu, dengan sebutan “pendidikan pluralis multikultural”. Menurutnya, pendidikan semacam itu harus dilihat sebagai bagian dari upaya komprehensif mencegah dan menaggulangi konflik etnis agama, radikalisme agama, separatisme, dan integrasi bangsa, sedangkan nilai dasar dari konsep pendidikan ini adalah toleransi.
Memperhatikan beberapa defenisi tentang pendidikan pluralisme tersebut di atas, secara sederhana dapatlah pendidikan pluralisme didefenisikan sebagai pendidikan untuk/tentang keragaman keagamaan dan kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. Pendidikan disini, dituntut untuk dapat merespon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. 


                                                                           



BAB III
PENUTUP

Pluralisme merupakan sikap saling mengerti, memahami dan menghormati adanya perbedaan-perbedaan. Dalam pluralisme hakikat pendidikan sebagai transfer of knowledge dan transfer of value, yakni seorang mencari pendidikan mampu memperoleh pengetahuan dan mendidik dalam berperilaku atau membawa anak untuk berperilaku ke arah dewasa.
Pada masa Orde Baru ruangan kelas hanya sebagai penjara tanpa peluang kreatif, dimana siswa tidak diberikan kesempatan untuk berbeda pendapat dengan orang tua dan guru sehingga siswa kurang aktif. Dalam hal agama perubahan muatan-muatan kurikulum akhlak termasuk juga aspek pendekatan dalam pengajarannya mutlak diperlukan. Hal ini mengingat pendidikan akhlak selama Orba masih mengembangkan model doktriner-dogmatikal, bukan pendidikan yang komunikatif-transformatif. Dalam era reformasi, seharusnya siswa lebih diberi ruang untuk mengeluarkan pendapat mereka dengan cara mengubah sistem pendidikan yang lama ke yang baru.   
Kalau tujuan akhir pendidikan adalah perubahan perilaku dan sikap serta kualitas seseorang, maka pengajaran harus berlangsung sedemikian rupa sehingga tidak sekedar memberi informasi atau pengetahuan melainkan harus menyentuh hati, sehingga akan mendorongnya dapat mengambil keputusan untuk berubah. Pendidikan agama Islam, dengan demikian, di samping bertujuan untuk memperteguh keyakinan pada agamanya, juga harus diorientasikan untuk menanamkan empati, simpati dan solidaritas terhadap sesama. Maka, dalam hal ini, semua materi buku-buku yang diajarkannya tentunya harus menyentuh tentang  isu pluralitas. Dari sinilah kemudian kita akan mengerti urgensinya untuk menyusun bentuk kurikulum pendidikan  agama berbasis pluralisme agama.


DAFTAR PUSTAKA

Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia (Yogyakarta : Logung Pustaka, 2005).
Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Victor I. Tanja, Pluralisme Agama dan Problematika Sosial, ( Jakarta: Cisendo, 1998).
Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik, (Jogjakrta: Sipress, 1994).



[1] Syamsul ma’arif, pendidikan pluralisme di Indonesia, Jogjakarta: Logung,2005, hlm.13


[2] Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 121
[3] Ibid, hlm. 143
[4] Victor I. Tanja, Pluralisme Agama dan Problematika Sosial, ( Jakarta: Cisendo, 1998), hal. 89
[5] Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik, (Jogjakrta: Sipress, 1994), hal.16.
[6] Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia (Yogyakarta : Logung Pustaka, 2005), hlm.115.
[7] Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia (Yogyakarta : Logung Pustaka, 2005), hlm.117.
[8] Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia (Yogyakarta : Logung Pustaka, 2005), hlm.119.
[9] Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia (Yogyakarta : Logung Pustaka, 2005), hlm.124.
[10] Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia (Yogyakarta : Logung Pustaka, 2005), hlm.132.
[11] Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia (Yogyakarta : Logung Pustaka, 2005), hlm.135.
[12] Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia (Yogyakarta : Logung Pustaka, 2005), hlm.141.
[13] Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia (Yogyakarta : Logung Pustaka, 2005), hlm.144.
[14] Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia (Yogyakarta : Logung Pustaka, 2005), hlm.148.

0 komentar: